;
headline photo

Gambaran Umum Karya Sastra

Senin, 22 Maret 2010

Karya sastra memang berperan penting sebagai media untuk memperjuangkan suatu pemikiran, sikap, dan perilaku tertentu yang dicita-citakan oleh pengarangnya. Namun jika tujuan/tendensi itu terlalu kuat dan mengabaikan aspek-aspek estetis, maka terjadilah proses ideologisasi. Proses ideologisasi ini dapat juga ditelusuri dari perdebatan tentang sastra religius dan sekuler yang sedang marak.
Pelabelan sastra religius dan tidak religius (sekuler) di Indonesia saat ini sangat menarik untuk didiskusikan. Alasannya, pendikotomian tersebut mempunyai potensi untuk memberikan penilaian hitam putih, baik dan buruk pada sebuah karya sastra, juga terhadap sifat dan perilaku tokoh yang diimajikan. Potensi lainnya adalah menghadapkan hubungan antar golongan (khususnya kelompok agama).

Potensi-potensi di atas muncul karena anggapan umum bahwa sastra religius adalah karya sastra yang di dalamnya mengusung lambang-lambang agama formal (Mashuri, 2003). Termasuk di dalamnya terdapat istilah-istilah agama dan ajaran-ajaran/dogma agama yang diorientasikan agar dilakukan oleh pengikutnya. Oleh karenanya, pada saat memberi label tidak dapat dihindarkan untuk tidak mencantumkan identitas agama.
Dalam konteks Indonesia yang sedang marak adalah penggunaan sastra yang berlabel ”Islami”. Mengenai kecenderungan ini ada tiga hal yang penting dipertanyakan? Pertama, bagaimana dengan karya sastra yang tidak menggunakan label-label agama tertentu tapi sarat dengan perjuangan kemanusian, keadilan, dan kesetaraan yang merupakan prinsip dasar agama (Muhidin M. Dahlan, 2007), apakah tidak dapat dikategorikan sebagai sastra religius? Kedua, apakah dengan pelabelan yang mendasar pada agama formal, seperti ”Sastra Islam” tidak akan memunculkan dikotomi baru seperti misalnya ”Sastra Kristen” dan bukan tidak mungkin situasi ini mempertajam pertentangan hubungan antar golongan di Indonesia? Ketiga, apabila sastra yang disebut religius dianggap menampilkan cerita yang santun dan sarat dengan kebaikan, apakah sastra yang tidak dikategorikan sastra religius telah menampilkan sesuatu yang buruk dan mengajak orang dalam kesesatan?
Lebih krusialnya, pembedaan tersebut cenderung dipertajam pada persoalan seks. Bagi pendukung dan pencetus sastra religius seperti Taufik Ismail, dan Helvy Tiana Rosa (Lingkar Pena) menyatakan bahwa sastra yang Islami (religius) tidak akan mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apa pun (dikutip dari tulisan Muhidin M. Dahlan, 2007).
Sedangkan pada sastra sekuler cenderung diidentikkan sebagai ”sastra selangkangan” yang hanya mengumbar seks, persetubuhan, dan penggambaran tubuh (khususnya tubuh perempuan) secara vulgar. Dalam hal pelabelan (”sastra Islami”, dan sebagainya) mendorong terjadi ekslusivitas dan pembatasan bagi para penikmat sastra. Situasi inilah yang dianggap Muhidin (2007) sebagai implementasi dari ”kita” dan ”mereka/yang lain”.
Selain memperlebar jarak hubungan antar golongan, penting juga untuk dilihat adalah pengimajian terhadap perempuan di kedua aliran/genre sastra tersebut. Benarkah pada sastra yang berlabel religius telah menempatkan perempuan sebagai ”yang terhormat”, manusiawi, dan merdeka atau justru membungkam dan mendomestifikasi? Benarkah dalam sastra yang sekuler khususnya yang dituduh sebagai ”sastra selangkangan” telah mengimajikan sosok perempuan yang berdaya, mandiri, dan merdeka ataukah justru tereksploitasi? Dan pada akhirnya, kepentngan (ideologisasi) apakah yang melatarbelakangi perdebatan sastra tersebut?


0 Komentar::

Posting Komentar

♥♥♥Eit..Eit..kayanya pengunjung mau kirim komentar nih tentang bacaan barusan..ya dah..NAME/URL juga boleh kok..Makasih yah.. ♥♥♥