;
headline photo

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Jumat, 25 Desember 2009



BAB V11
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


Pendahuluan

Sistem pendidikan nasional suatu bangsa didasarkan kepada tujuan yang ingin dicapainya yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara tersebut.
Undang-Undang Dasr Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada pemerintah mengesahkan dan menyelenggarakan suatu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta aklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang
Untuk mewujudkan amanat tersebut pemerintah sebelumnya telah menyusun Undang-Undang No.20 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional (UUSP).
Namun untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasinal dan global perlu dilakukan pembaharuan kehidupanlokal nasional dan global perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan, UUSPN 1989 yang ditetapkan sebelumnya dirasakan tidak memadai lagi dan perlu diganti serta di sempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk itu dibentuklah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yang disempurnakan yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang system penddikan national.

A. Latar Belakang Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 Ayat (3) manegaskan bahwa Pemerintah mengadakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkat kan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang – undang
Sebagai realisasi dari amanat tersebut maka dibentuklah undang – undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional,yang selama ini ) – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menuntut perlunya diadakan pembaharuan terhadap undang – undang nomor 2 tahun 1989 tersebut,karena dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Pembaruan system pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi ,misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujud nya system pendidikan sebagai paranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusiai yang berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah
Dengan visi pendidikan,mempunyai misi sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
2. Membantu dan menfasilitasi perkembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. Meningkatkan persiapanmasukan dan kualitas proses pendidikan untbk mengoptimalkan pembentukan kepribadiaan yang bermoral
4. Meningkatkan keprofesionalan dan akutabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetehuan, ketrampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. Memberdayakan peran serts masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara kesatuan RI

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kapada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Pembaharuan system pendidikan memerlukan stategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalamundang-undang ini meliputi:
1. Pelaksanaan pendidikan agama serta aklak mulia;
2. Pengembangan kurikulum berbasis kompetisis;
3. Proses pembelajaran yang mendidikdan diologis;
4. Evaluasi,Akriditasi,dan sertiffikasi pendidikan yang membudayakan;
5. Peningkatan keprofesionalan daalam tenaga kependidikan;
6. Penyediaan sarana yang mendidik;
7. Pembiayaan pendidikan yang sesuai denga prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. Penyelanggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. Pelaksanaan wajib belajar;
10. Pelaksanaan otnomi menajemen pendidikan;
11. Pemberdayaan peran masyarakat
12. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. Pelaksanaan pengawasan dalan system pendidikan nasional

Dengan strategi tersebut visi,misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagi pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan pembaruan system pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang Reoublik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, Sehubungan dengan hal-hal diatas itulah Undang-Undang Nomor 2 Tahun1989 tentang system Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasiional.

B. Sistem Pendidikan .Nasional
Sehubungan dengan pendidikan nasional Sunaryo W. (1963) merumuskan pendidikan nasional adalah suatu system pendidikan yang berlandasan dan dijiwai oleh suatu falsafah hidup suatu bangsa dan bertujuan mengabdikan pada kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebut ini bearti bahwa Pendidikan nasional suatu bangsa dalam pelaksanaan pandidikannya berdasarkan pada filsafat, budaya bangsa demi kelangsungan kehidupan dan cita-cita bangsa dan Negara baik jangka panjang maupun jagka pendek.
Dalam UUSPN Bab 1 ayat (2) Dicantumkan “Pendidikan Nasional adalah pendidikan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar dari nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman pernyatan ini mengandung makna bahwa semua aspek yang terdapat dalam system pendidikan nasional akan mencermikan aktivitas yang dijiwai oleh pancasila, aerta sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendidikan nasional adalah usaha sadar dan terenana untuk membanngun manusia seutuhnya. Oleh sebab itu arah dn fungsi utama system pendidikan nasional itu adalah mengembangkan manusia masyrakat dan lingkungan nya. Dengan demikian pendidikan nasional mempunyai fungsi sebagai alat bertujuan untuk mengembangkan pribadi, pengembangan masyarakat, pengembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Untuk meningkatkan kehidupan dan martabat sehingga tercapai kebahagian batinin dan lahiriyah seperti tentuang dalam UUSPN No.20 tahun 2003 Bab 11 Pasal 3 yang bertujuan sebagai berikut:Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemauan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negars yabg demokratis serta bertanggung jawab.
Sistem pendidikan nasional merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasinal diantara bidang kehidupan lainnya seperti; idiologi, hukum ekonomi dan pertahanan keamanan nasional. Untuk mewujudkan pembangunan nasional dibidang pendidikan diperlukan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaran pendidikannasional. Prndidikan nasional perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional suatu system.

Konsep-konsep tentang pendidikan diindonesia sebagai berikut;
1) Pembangunan nasional merupakan supra system atau lingkkungan dari system pendidikan nasional, yang bertujuan mewujudkan masyarakat pancasila dengan cirri-ciri antara lain sebagai berikut;
a) Adil dan makmur dan merata material dan spiritual;
b) Modern dengan memliki institusi-institusi yang mantap dan teknolj maju;
c) Berazaskan kekeluargaan yang didalam nya berlangsung keselaraan keserasian dan kesinambungan
2) Sistem pendidikan nasional merupakan salah satu bagian atau system dari pembangunan nasional yang ada bersama-sama dengan system kehidupan lainnya (srperti; ekonomi, politik, agama dan sbagainya), dan mempunyai peranan sentral karena pendidikan berurusan dengan pembangunan manusia yang akan membangun masyarakat pancasila. Manusia merupakan kekuatan sentral dalam proses pemangunan
3) Pendidikan nasinal merupakan usaha sadrar untuk membangun masyarakat pancasila. Dengan demikian system pendidikan nasional adalah system usaha yang terencana, Bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap TuhanYang Maha Esa, kecerdaasan dan ketrampilan, memperttinggi budi pekerti, emperkuat kepribadaian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan agardapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat Pancasla.
4) Sumber masukan system pendidikan nasional Indonesia adalah masyarakat dengan cirri-ciri kan antara lain:
a) Lahir melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajah kemerdekaan melawan penjajah;
b) Negara hhukum berdasrkan pancasila Undang-Undang Dasar 1945;
c) Mejemuk dalam suku agama, budaya, social ekonomi dan sebagainya yang masih belum terpadu;
d) Sedang berkembang yang nenghadapi keterbelakangan, kebodohan’ kemiskinan dan insttitusi baru yang belum mantap
5) Proses yang di harapkan terjadi dalam system pendidikan nasional Indonesia
Dewasa ini adalah proses sosialisasi yang didalam nya antara lain berlangsung
Proses
a. Internalisasi nilai-nilai;
b. Integrasi nasional; (proses mempersatukan bangsa);
c. Profesionalisasi dalam rangka menumbuhkan manusia pembangunan;
d. Humanisasi dalam rangka mencapai manusia Indonesia seutuh nya;
6) Hasil yang diharapkan dari system pendidikan nasinal Indonesia dewasa ini
Adalah manusia indonesia yang bertaqwa terhadapTuhan Yang Maha Esa, cerdas dan terampil, tinggi budi pekerti nya, kuat kepribadiaan nya, tebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, sehingga tubuh menjadi manusia Pembangunan Pancasila

Setelah kita mengenal enam kinsep yang berkaitan dengan pendidikan nasional Indonesia sebagai system (butir 1 s/d 6), timbul pertanyaan apakah yang mendasari cita-cita atau kosep system pendidikan nasional yang tercantum dalam pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan itu seperti telah di singgung sebelumn dalam rangka menetapkan ketahanan nasinal seperti mewujudkan masyarakat maju yang berakar pada kebudayaan bangsa dan persatuan nainal yang berwawasan Bhineka Tunggal Ika dan berdasarkan pancasila dan UUD 1945, perlu ditetapkan undabg-undang tentang system Pendidikan Nasional UUSPN ini merupakan satu ketantuan atau landasan yang mengenai atau mengendalikan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam penjelasan UUSPN secara menyeluruh mengkapka satu system yang;

1. berakar pada kebudanyaan nasional, berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945 serta melanjutkan dan meningkatkan pendidikan pedoman penghayatan pengalaman Pancasila
2. Merupankan satu keseluruhan dan di kembang kan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional;
3. Mencakup pendidikan seko;ah dan pendidikan luar sekolah, serta mengatur pendidikan sekolah yang terdiri atas 3 jenjamg utama, yang masing-masing terbagi pula pada jenjanng atau tingkatan nya;
4. Mengatur komponen proses belajar mengajar yang saling berkaitan yakkni murd guru/atau tenaga kependidikan dan kurikulum serta sumber daya kependidikan;
5. Mengatur pendidikan secara terpusat dan menyeluruh, tapi dalam penyelenggaran satuan dan kegiata pemudahkan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat/destralisasi;
6. Menegaskan bahwa keluarga, masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab bersama dalam menyelenggarakan suatu kegiatan pendidikan serta mengatur bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat pendapat perlakuan yang sama;
7. Mengatur bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk mnyelenggerakan satuan dan kegiatan pendidikan sesuai dengan cirri dan kekhusukan masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila;
8. Meudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak di capai serta memudahkan menyesuaikan diri dengan lingkungan;
9. Menegaskan penggunaan Bahasa pengantar, penyelengaraan wajib belajar, ketentuan standar nasional pendidikan dan akreditasi peran serta masyarakat, wewenang pemerintah pusat dan daerah.

Dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa system pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu yang berarti pendidikan nasional terpadu yang berarti pendidikan nasional terbuka bagi setiap warga Negara dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia; mencakup semua jalur pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Dalam ketentuan umum UUSPN Bab 1 pasal 3, juga dicantumkan bahwa system pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan system pendidikan nasionaladalah mencerdaska kehidupan bangsa. Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa, lahir batin, dalam kehidupan perseorangan warganya atau kehidupan kemasyarakatannya. Agaknya jelas bahwapendidikan nasional memberi kesempatan belajar yang seluas luasnya kepada setiap warga Negara. Dalam penerimaan seseorang sebagai murid tidak dibenarkan adanya pembedaan atas dasar apapun seperti perbedaan agama, ras, suku, kemampuan ekonomi kecuali bagi pendidikan yang memerlukan kekhususan.
Sistem pendidikan nasional Indonesia menghendaki berlakunya konsep pendidkan seumur hidup yaitu konsep pendidikan terpadu yang mempunyai cirri –ciri sebagai berikut:

1. Pendidikan berlangsung dalam seluruh tahap perkembagan hidup seseorang, sejak lahir sampai mati pendidikan tidak mengenal batas usia
2. Pendidikan mencakup perkembangan setiap aspek kepribadian (fisik intelegtual, efektif, dan spiritual) dan peranannya dalam kehidupan (pribada, social, professional)
3. Pendidikan melalui berbagai bentuk pengalaman belajar, dan di selaraskan dengan keragaman individu baik perbedaan dalam kemampuan motivasi maupun dalam kesempatan.
4. Pendidikan terjadi dalam semua pengalaman hidup baik yang berlangsung dalam bentuj pendidikan formal maupun informal

Ditinjau dari konsep pendidikan seumur hidup, system pendidikan nasional Indonesia terdiri atas tiga sub system yaitu sub system pendidikan formal, sub system pendidikan informal, dan sub system pendidikan non formal. Batas antara ketiga sub system tersebut tidak jelas, oleh karena sseperti kita ketahui, system pendidikan adlah system yang terbentuk dari rangkaian peristiwa yang terus berkembang
Secara kelembagaan system pendidikan nasional Indonesia dapat dibedakan dalam dua sub system, yaitu system pendidikan sekolah dan sub system pendidikan luar sekolah. Bagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk kelembagaan, pogram dan kurikulumnya akan dibahas selanjutnya.

C.PENYELENGGARAAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Pendidikan adalah usaha sadar danajar dan terancana untuk mewujudkan suasana belajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keoribadian, kecerdasan, aklak mulia, serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Apabila system pendidikan nasional merupakan system usaha yang sadar. Menurut pasal 31 ayat 2;
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang dalam hal ini UUSP seperti telah dikemukan sebelumnya.Dengan demikian jelas, bahwa secara tersurat dan baku dinyatakan bahwa pemerintah berkewaiban melakukan usaha sadar tersebut.
Prinsip penyelenggaraan pendidikan diterangkan dalam UUSP pada BAB 111 pasal4 adalah seperti :

 Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatis dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajamukan bangsa.
 Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan system terbuka dan multi makna.
 Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudidayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
 Pendidikan disselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
 Pendidikan diselenggakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis,dan behitung bagi segenap warga masyarakat.
 Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.


Penyelanggarakan pendidikan yang berada, dibawah tanggung jawab Mentri Pendidikan Nasional yang acuannya di ambil dari Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasinal”

1. .Satuan dan Jalur Pendidikan

Satuan pendidikan menyeleggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah merupakan bagian pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan. Sedangkan satuan pendidikan tersebut, dilaksanakan melalui dua jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan dalam keluarga merupakan bagian dalam pendidikan luar sekolah.
Perbandingan antara kedua jalur.

Metrik: Perbandingan Antara Jalur Pendidikan Sekolah dengan Jalur Pendidikan luar sekolah

NO Aspek yang Jalur Pendidikan Jalur Pendidikan
Di bandingkan Sekolah Luar Sekolah
1 Tempat penyelenggaraan Di sekolah Di luar sekolah (dalam keluarga dan masyarakat)
2 Sifat Formal  Informal (dalam keluarga)
 Non formal (dalam masyarakat)
3 Pola Seragam secara nasional Sangat beragam (heterogen) sesuai dengan tujuan
4 Kemampuan yang di kembangkan (overall) Menyeluruh pengetahuan, sikap memberikan keyakinanagama, nilai budaya dan pengetahuan, sikap dan ketrampilan Dalam kelurga; dan ketrampilan norma serta ketrampilan dalam masyarakat tergantung tujuan
5 Penghargaan akhir Ijazah Non formal

2. Kelembagaan Jenjang dan Program pendidikan

Pada dasarnya jalur pendidikan sekolah di laksanakan dalam lembaga pendidikan dengan mengikuti perjenjangan tertentu. Pelembagaan dan perjenjangan dengan mempertimbangkan perkembangan anak didik, factor-faktor social, cultural, ekonomi dan kebutuhan ketenaga kerjaan serta keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran dan cara penyajian.
Pembukuan lembaga-lembaga pendidikan di sekolah dan di luar sekolah biasa nnya di usahakan, sedangkan untuk usaha pendidikan di dalam kelurga, pembakuan itu sangat sulit di lakukan. Kesulitan itu terutama sekali berkaitan dengan ruang lingkup dan batas-batas usaha pendidikan dalam keluarga.
Lebih lanjut bagian ini membangun secara singkat lembaga dan system pendidikan di sekolah dan luar sekolah

a. Pendidikan umum dan kejuruan
Lembaga pendidikan umum dan kejurua terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan umum merupakan program pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan umum merupakan program pendidikan yang mengutamakan pendidikan dan pengkatan ketrampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat- tingkat akhir masa pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dalam bidang tertentu. Yang termasuk pendidikan umum adalah; Sekolah dasar, Sekolah menengah, dan Universitas. Yang termasuk sekolah kejuruan antara lain Sekolah menengah kejurun (SMEA, STM, SKKA. SMIK) dan lain sebagainya.
Baik pendidikan umum, maupun kejuruan jalir pendidikan sekolah dilaksanakan melalui pejenjangan yang penyelanggaraan untuk setiap jenjang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

 Pendidikan dasar
Sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan dasar, diselenggarakan kelompok belajar yang disebut pendidikan persekolahan (PPRI No.27/1990)
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memnerikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat dan mempersipkan peserta didik yang memenuhi persyratan untuk mengikuti pendidikan menengah. Oleh karena itu, bagi seluruh warga Negara peelu disediakan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang sekurang-kurangnya dapat membekali dirinya dengan pengetahuan sikap dan ketrampilan dasar itu.
Berkenaan dengan penyelenggaaan pendidikan dasar ini,adanya wajib belajar bagi anank usia 7-12 tahun yang di canangkan oleh presiden RIpada tanggal 2 Mei 1984.kemudian di nyatakan dalam UUSPN (1), yang berbunyi.’’Warga Negara yang barumur 6 Tahun berhak mengikuti pendidikan dasar dan ayat 2 “Warga Negara yang berumur 7 Tahun, berkewajiban mengikuti pendidikan dasar dan pendidikan yang setara sampai tamat’’.
Dalam pengertian setara termasuk juga Pendidikan Luar Biasa dan pendidikan yang bersifat keagamaan.Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1990 tentang ‘Pendidikan Dasar’ mengatur tentang pelaksanaanya.
 Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyrakat yang memiliki kemempuan mengadakan hubungan timbale balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja ataun pandidikan tinggi
Pendidikan menemgah umumnya berfungsii menyiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikannya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan menengah kejuruan berfungsi mempersiapkan peserta didik untuk lapangan kerja, sesuai dengan tujuan pendidikan kejuruan yang diikuti atau untuk mengikuti pendidikan keahlian peda tingkat pendidikan tinggi.
 Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk tujuan yang sifatnya majemuk. Di satu pihak pendidikan tinggi harus meneruskan, mengembangkan dan melestarikan peradaban, ilmu teknologi dan seni, dipihak lain pendidikan tinggi harus pula ikut pembangunan manusia Indonesia seutunnyaseperti yang ditetapkan dalam UUSPN.
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyipkann peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
Misi “TriDharma” pendidikan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat adalah dalam rangka mencapai tujuan yang telah digariskan tersebut.
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan disebut perguruan ntinggi yang dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institute dan universitas.
Untuk jelasnya fungsi masing-masing bentuk perguruan tinggi tersebut digambarkan dalam matrik berikut

Metrik 2: Hubungan Bentuk dan Fungsi perguruan tinggi

No Bentuk FT Fungsi setiap bentuk
1 Akademik Menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang IPTEK atau kasenian tertentu
2 Polyteknik Menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus
3 Sekolah Tinggi Menyelenggarakan pendidikan akademik dan professional dalam satu disiplin ilmu tertentu
4 Institut Terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan professional dalam sekelompok disiplin ilmu
5 Universitas Terdiri dari sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam sejumlah disiplin ilmu

Bagian syarat-syarat dan tata cara pendirian perguruab tinggi serta penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah RI NO.30 Tahun 1990 tentang Perguruan Tinggi.
 Pendidikan Khusus
Disamping program pendidikan umum dan pendidikan kejuruan yang telah dikemukakan diatas masih ada jenis program pendidikan yang lain yaitu, pendidikan Luar Biasa, Pendidikan Kedinasan dan pendidikan keagamaan.
Pendidikan khusus berfungsi secara khusus, menyiapkan pendidikan yang sesuai dengan tujuan masing-masing program tersebut.
 Pendidikan Luar Biasa
Progaram ini diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental seperti; Sekolah Dasar Luar Biasa(SDLB), Dan Pendidikan Luar Biasa(PLB) untuk jenjang pendidikan menengah dengan masing-masing memiliki program anak tuna netra, tuna daksa, dan tuna grahita. Gurunya merupakan lulusan dari Pendidikan Luar Biasa dari pendidikan atau perguruan tinggi
 Pendidikan kedinasan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaantugas kedinasan bagi pegawai atau calon pegawai suatu Deprtemen Pendidikan atau Lembaga Pemerintahan Non Deprrtemen. Pendidikan khusus kedinasan atau pusat-pusat latihan (PUSDIKLAT) dan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupan oleh swasta.
 Pendidikan khusus teknis dilaksanakan dipusat-pusat atau lambaga pendidikan yang khusus diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun ole swasta.
 Pendidikan khusus keagamaan dilaksanakan disekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyrakat seperti; Madrasah yang Ibtidayah, Institut Agama Islam Negri, Pendidikan Guru Agama, Seminari, Biara, Sekolah Tinggi Teknologi dan Institut Ilenda Dharm. Fungsi dari pendidikan ini adalah untuk mempersiapkan peserta didik untuk dapat melaksanakan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

3. Hak dan Kewajiban Peserta Didik dan Pendidik
Peserta Didik
Dalam UUSPN dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keluasan garak kepada peserta didik yang dalam pelaksanaannya di atar oleh Mentri”
Adapun hak dari setiap peserta didik dalam satuan pendidikan sebagai berikut;
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak;
1. mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya ddan diajarkan oleh pendidikan yang seagama.
2. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
3. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
4. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orng tua nya tidak mempunyai membiayai pendidikannya.
5. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan yang setara.
6. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepan beajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
b. ikut menanggug biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi pesrta didik yang bebaskan dari kewajiban tesebut seauai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(3) Warga Negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang di selenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiba peserta didik sebagai mana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur lebih lanjut denga peraturan pemerintah.
o Tenaga Kependidikan
Yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah; pengelola satuan pendidikan, pemilik, pengawas, peneliti dan pengembangan di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisin sumber belajar.
Tenaga kependidikan di atas bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan memberi pelayanan dalam bidang pendidikan. Tenaga pendidikan yang khusu diangkat dengan tugas utama mengajar untuk pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang perguruan tinggi disebut dosen
Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar selan beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berawawasan Pancasila UUD 1945 juga harus memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tanaga keguruan.
Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut;
(1) Pendidikan dan Tenaga kependidikan berhak memperoleh;
 Penghasilan dan jaminan kesejahteraan social yang pantas dan memadai
 Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja
 Pembinaan karier, sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas
 Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intilektual
 Keasempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban;
 Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna menyenangkan kreatif,dinamia, dan dialogis
 Mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan
 Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya
 Pendidikan dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah
 Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya beerdasarkan kebutuhan pendidikan formal
 Pemerintah dan oemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidikan dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselelenggaranya pendidikan yang bermutu
 Ketentuan mengenai pendidikan dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat(2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Disamping hak dan kewajiban di atas, kedudukan dan penghargaan bagi tenaga pendidikan diberikan juga berdasarkan kemampuan dan prestasinya. Pembinaan dan pengembangan tenaga pendidikan jaga diselenggarkan oleh pemerintah. Bagi satuan pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat diatur penyelenggaraannyaoleh satuan pendidikan yang bersangkutan
Sumbar daya kependidikan
Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh pemerintah, masyrakat dan keluarga peserta didik. Pendidikan tidak mungkin dapat terselenggarakan dengan baik, bilamana para tenaga kependidikan maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan.
Selengkapnya...

To Tell The Truth


by Robert Sproule
Based on actual events
"Do you swear to tell the truth, the whole truth, and nothing but the truth?"
"I do."
Carl Savinski stepped up to the witness stand.
Carl's parents had immigrated to Canada when Carl was one year old. They had started a small grocery store and had built it over the years into a major supermarket.
Carl now worked there full time. He helped with receiving, at checkout, did
accounts payable, and after a busy day helped restock the shelves--often until three or four in the morning.
He liked working at his parent's business; it was an honest business. He had
been brought up to be honest, to tell the truth, and more--he knew that there was such a thing as truth. He had never heard of reducing an argument to an absurdity as a method of proving the falsehood of a particular proposition--none of his high
school teachers had ever taught it. But, a year ago, his homeroom teacher had said in front of the whole class:
"There is no such thing as truth."
Carl Savinski had stood up and said, "That would make your statement false."
"Huh?"
"That would make your statement false," Carl had repeated. "If there is no such thing as truth, then your statement is not true. To say that there is no such thing as truth is absurd--you dumb piece of shit!"
Carl was expelled from school for two weeks. He didn't go back. He joined his parent's business instead.
In the past year he had learned that to be honest was not only the right thing to do but also the practical thing to do. He saw how his parents had built this business.
He saw that they had made reasonable rules for the staff and employed them equally without favouritism. The staff liked working there and his parents had gained a competent work force that cared about the future of the company. "The customer is always right" was not company policy--they seldom were--the staff knew what they were doing.
His parents had gained more customers by treating them honestly, by being fair, by giving them more value for their money. If produce was too old, they threw it out; they didn't sell three-day old bread as fresh. Their butcher trimmed more fat off the meat. And they hunted for value; they didn't handle sixteen-ounce cans that had to sell for more than twice the price of two eight-ounce cans.
They stuck to terms with their suppliers: if payment was required in thirty days, they paid in thirty days. If a supplier accidentally shipped more than they were invoiced for, they paid for the extra; if this happened too often, they changed
suppliers. They built up honest relationships with their suppliers. And they gained: they were first to be offered a commodity in short supply, and first to
receive a discount if a supplier was over stocked.
In the past year Carl Savinski saw with his own eyes, in his day-to-day job, that being honest paid. He saw that to be reasonable, to be honest, to tell the truth was practical--that one did not suffer a loss by being honest, but made a gain.
"Your name is Carl Savinski?" the prosecuting attorney asked.
"Yes."
"Do you work at Savinski's Supermarket?"
"Yes."
"Do you recognize the defendant?"
"Yes."
"Please describe the events of October twelfth that led to these proceedings."
"I was restocking shelves near the front entrance to our store when the sensors at the door set off the alarm. I stopped the defendant and asked her to step back through the sensors without her bags of groceries. The alarm went off again. I asked her to come into the office and to empty her pockets and her purse. In her purse was a tube of toothpaste still in its box. The defendant said she had no idea how it got there, that she was sorry, and offered to pay for the toothpaste. I said that she could not, and called the police."
"The prosecution rests, Your Honour."
His Honour was bored. This would be just another shoplifting case. It had long been the practice not to saddle shoplifters with a criminal record. Instead, he would order her to watch a movie whose message was that it was not nice to steal, that she should feel shame, and go away and never do this again.
"How does the alarm work?" asked the defence attorney.
The defence attorney looked slimy, thought Carl. Carl did not consider his first impression, good or bad, a valid means of judging a man's character--he wanted to know what a man said and did before forming an opinion. But still, the defence attorney did look slimy. This was the first person Carl had ever met that he disliked on sight.
"There's a tag on some of our merchandise. The tag sets off the alarm at the
door unless it has been deactivated at checkout."
"Is it possible to have a false alarm?"
Carl thought that this was irrelevant since this was obviously not a false alarm given the fact that the tagged toothpaste that had set it off was in the lady's purse.
But the defence attorney had not asked if this particular alarm could have occurred in error. He had simply asked if it's possible to have a false alarm, so Carl, who always told the truth, simply said, "Yes."
The judge, who sat higher than anyone else in the courtroom, sat up straight--there was something about this witness that was beginning to interest him.
"Is it possible for the checkout staff to miss deactivating a tagged product?"
Carl could not understand this line of questioning--it seemed pointless--and
he was beginning to get angry. He thought that the toothpaste had not been de-activated because it had not been paid for, that it was not listed on the defendant's
receipt, and she knew it, or she would not have offered to pay for it. He thought
that the real reason the toothpaste had not been deactivated was that the lady had
it in her purse!
"Yes, it's possible," Carl answered calmly.
" Describe the checkout process."
"The customer puts their merchandise on a conveyor belt. The checkout
person passes each product over an electronic device that reads a bar code. If an
item is tagged, the checkout person drops it in a bucket, presses a button, and the
tag is deactivated. The merchandise is then slid down a shoot where the customer
bags their own groceries."
"Is it possible that the toothpaste was under, let's say, a loaf of bread, and was passed down the shoot without being registered on the bill or deactivated?"
"Yes."
The defence attorney seemed to have a smirk on his face--this witness was
supposed to be a witness for the prosecution, but he could not have asked for a
better witness for the defence.
" Is it not then possible that the defendant, instead of putting the toothpaste in her bags with the rest of the groceries, thinking it had been paid for, put it in her
purse?"
"Yes."
Something is not right here, thought the judge--the prosecution's witness is
just allowing himself to be made to look like a fool.
"If this is, in fact, what happened at Savinski's Supermarket on October
twelfth, then the defendant could not possibly be guilty of shoplifting. That would be a contradiction, wouldn't it?"
"Yes."
"Huh."
"It would be a contradiction."
There it was--out in the open--"It would be a contradiction." But there can be no contradictions, and everyone in the courtroom knew it. In some form they all knew that it's a law--a law of reality--there can be no contradictions. There
was a certain uneasiness in the minds of most people in the courtroom--as if they
had been put on the spot and were now being asked to choose--guilty, or not
guilty--she could not be both.
Carl Savinski had simply said it, "It would be a contradiction," and thought:
there you go, there are no contradictions, it's your problem, you deal with it.
The defence attorney was dumbfounded. "Huh" was all he had managed to say.
He had expected the witness to concede the possibility of his client's innocence. He did not know what had gone wrong, why the problem had been thrown back in his lap, or how to deal with it. What he did know was that it was his turn to speak, that all eyes were on him, and that with each passing second, it was he who looked more and more like the fool. Knowing no other course of action, he started out again.
"Okay," he said, cupping his chin with his hand in a manner that suggested he had given the problem some thought, "isn't it just possible that my client had her purse open in the shopping cart and the toothpaste just happened to fall off the shelf and into her purse?"
Carl Savinski ignored the question and turned to the judge, who had been
watching with great intensity:
"Your Honour, do I have to engage...?"
The prosecuting attorney would not have to cross-examine the witness today.
He would not have to point out the contradictions in the defence attorney's
"toothpaste under the bread" story--why of all the dozens of items the accused
bagged that day was the toothpaste the only one she put in her purse, and if she had put it in her purse, why had she said that she had no idea how it got there. He would not have to point out that the "toothpaste falling into the open purse" story was beyond any reasonable possibility.
The judge, in all his years on the bench, had had his will prevail. There had
never been anything that a couple of thunderous blows with his gavel would not
fix. He had always been in control. He had always rendered his decision after
careful deliberation and in his own good time. But now, it was he who had been
put on the spot, and he didn't like it one bit.
"You don't have to do anything!" screamed the judge.
Even Carl Savinski was startled.
The judge was livid. He looked as if Carl Savinski had physically pushed him into a corner and then slapped his face--the problem had been taken from the
defence attorney and thrown at the judge.
The judge tried to calm himself, tried to regain control of his thinking:
"Yea, how did the toothpaste get into the purse?" he said out loud.
The attempt failed--and without a glance at the accused, the judge lashed out at the defense attorney. Pointing straight at him, he yelled, "She's guilty! She
has a criminal record!"
"I swear to tell the truth, the whole truth, and nothing but the truth." were the words Carl Savinski had always lived by. Today, walking out of a courtroom,
he marvelled at how well it works.







TIGER
The tiger (Panthera tigris) is a member of the Felidae family; the largest and the most powerful of the four "big cats" in the genus Panthera.[4] Native to much of eastern and southern Asia, the tiger is an apex predator and an obligate carnivore. Reaching up to 4 metres (13 ft) in total length and weighing up to 300 kilograms (660 pounds), the larger tiger subspecies are comparable in size to the biggest extinct felids.[5][6] Aside from their great bulk and power, their most recognizable feature is the pattern of dark vertical stripes that overlays near-white to reddish-orange fur, with lighter underparts. The largest subspecies of tiger is the Siberian tiger.
Highly adaptable, tigers range from the Siberian taiga, to open grasslands, to tropical mangrove swamps. They are territorial and generally solitary animals, often requiring large contiguous areas of habitat that support their prey demands. This, coupled with the fact that they are endemic to some of the more densely populated places on earth, has caused significant conflicts with humans. Of the nine subspecies of modern tiger, three are extinct and the remaining six are classified as endangered, some critically so. The primary direct causes are habitat destruction and fragmentation, and hunting. Their historical range, which once reached from Mesopotamia and the Caucasus through most of South and East Asia, has been radically reduced. While all surviving species are under formal protection, poaching, habitat destruction and inbreeding depression continue to be threats.
Nonetheless, tigers are among the most recognizable and popular of the world's charismatic megafauna. They have featured prominently in ancient mythology and folklore, and continue to be depicted in modern films and literature. Tigers appear on many flags and coats of arms, as mascots for sporting teams, and as the national animal of several Asian nations.
MOSQUITOES
Mosquitoes are insects in the family Culicidae. They have a pair of scaled wings, a pair of halteres, a slender body, and long legs. The females of most mosquito species suck blood (hematophagy) from other animals, which has made them the most deadly disease vector known, killing millions of people over thousands of years and continuing to kill millions per year by the spread of diseases.
Length varies but is rarely greater than 16 mm (0.6 inch), and weight up to 2.5 mg (0.04 grain). A mosquito can fly for 1 to 4 hours continuously at up to 1–2 km/h travelling up to 10 km in a night. Most species are nocturnal or crepuscular (dawn or dusk) feeders. During the heat of the day most mosquitoes rest in a cool place and wait for the evenings. They may still bite if disturbed. Mosquitos are adept at infiltration and have been known to find their way into homes via deactivated air conditioning units.
LIBRARY
A library is a place which collects records of what people have thought and done.
It preserves those records, and it ,makes them available to us, so that we can learn about many things. In the world of library, we can entertain ourselves, teach ourselves, and be inspired by the ideas that we might never have dreamed ot otherwise.
A library has many sections. Commonly, a library has a reading room, a catalogue section, a newspaper and magazine section, books section, and a librarian desk which deals with book circulation. The books are classified based on the subjects, such as fiction, science, psychology, etc. They are arranged on the bookshelves.
1. Suramadu Bridge

The Suramadu Bridge (Indonesian: Jembatan Suramadu), also known as the Surabaya–Madura Bridge, is a bridge with three cable-stayed sections constructed between Surabaya on the island of Java and the town of Bangkalan on the island of Madura in Indonesia. Opened on June 10, 2009, the 5.4-km bridge is the longest in Indonesia and the first bridge to cross the Madura Strait.
The cable-stayed portion has three spans with lengths 192 m, 434 m and 192 m. The bridge has two lanes in each direction plus an emergency lane and a dedicated lane for motorcycles. The first toll bridge in Indonesia, fares have been initially set at Rp. 30,000 (US$3 in 2009) for four-wheeled vehicles and Rp. 3,000 (US$0.30) for two-wheelers.
The bridge was built by a consortium of Indonesian companies PT Adhi Karya and PT Waskita Karya working with China Road and Bridge Corp. and China Harbor Engineering Co. Ltd. The total cost of the project, including connecting roads, has been estimated at 4.5 trillion rupiah (US$445 million).
Construction was started on August 20, 2003. In July 2004, a girder collapsed, killing one worker and injuring nine others. Work on the bridge halted at the end of 2004 due to lack of funds, but was restarted in November 2005. The main span of the bridge was connected on March 31, 2009, and the bridge was opened to the public in June 10, 2009.Within a week of the opening, it was discovered that nuts and bolts as well as maintenance lamps had been stolen and that there was evidence of vandalism of cables supporting the main span.
2. Batik

Batik is cloth which traditionally uses a manual wax-resist dyeing technique. Due to modern advances in the textile industry, the term has been extended to include fabrics which incorporate traditional batik patterns even if they are not produced using the wax-resist dyeing techniques. Silk batik is especially popular.
Javanese traditional batik, especially from Yogyakarta and Surakarta, has special meanings rooted to the Javanese conceptualization of the universe. Traditional colors include indigo, dark brown, and white which represent the three major Hindu Gods (Brahm?, Visnu, and ?iva). This is related to the fact that natural dyes are only available in indigo and brown. Certain patterns can only be worn by nobility; traditionally, wider stripes or wavy lines of greater width indicated higher rank. Consequently, during Javanese ceremonies, one could determine the royal lineage of a person by the cloth he or she was wearing.
Other regions of Indonesia have their own unique patterns which normally take themes from everyday lives, incorporating patterns such as flowers, nature, animals, folklore or people. The colors of pesisir batik, from the coastal cities of northern Java, is especially vibrant, and it absorbs influence from the Javanese, Arab, Chinese and Dutch culture. In the colonial times pesisir batik was a favorite of the Peranakan Chinese, Dutch and Eurasians.
UNESCO designated Indonesian batik, as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on October 2, 2009.In return of the acknowledgment, UNESCO demanded Indonesia to preserve their heritage.
Batik or fabrics with the traditional batik patterns are also found in several countries such as Malaysia, Japan, China, India, Sri Lanka, Egypt, Nigeria, Senegal, and Singapore. Malaysian batik often displays plants and flowers in basic patterns.


3. Facebook

Facebook is a global social networking website that is operated and privately owned by Facebook, Inc. Users can add friends and send them messages, and update their personal profiles to notify friends about themselves. Additionally, users can join networks organized by city, workplace, school, and region. The website's name stems from the colloquial name of books given at the start of the academic year by university administrations with the intention of helping students get to know each other better.
Mark Zuckerberg founded Facebook with his college roommates and fellow computer science students Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz and Chris Hughes while he was a student at Harvard University. The website's membership was initially limited to Harvard students, but was expanded to other colleges in the Boston area, the Ivy League, and Stanford University. It later expanded further to include any university student, then high school students, and, finally, to anyone aged 13 and over. The website currently has more than 300 million active users worldwide.
Facebook has met with some controversy. It has been blocked intermittently in several countries including Syria, China and Iran,although Iran later unblocked Facebook in 2009. It has also been banned at many places of work to discourage employees from wasting time using the service. Privacy has also been an issue, and it has been compromised several times. Facebook is also facing several lawsuits from a number of Zuckerberg's former classmates, who claim that Facebook had stolen their source code and other intellectual property.
A January 2009 Compete.com study has ranked Facebook as the most used social network by worldwide monthly active users, followed by MySpace.

4. Kecak Dance

Kecak (pronounced [?ket?ak]) is a form of Balinese music drama, originated in the 1930s and is performed primarily by men. Also known as the Ramayana Monkey Chant, the piece, performed by a circle of 100 or more performers wearing checked cloth around their waists, percussively chanting "cak" and throwing up their arms, depicts a battle from the Ramayana where the monkey-like Vanara helped Prince Rama fight the evil King Ravana. However, Kecak has roots in sanghyang, a trance-inducing exorcism dance.
Kecak was originally a trance ritual accompanied by male chorus. German painter and musician Walter Spies became deeply interested in the ritual while living in Bali in the 1930s and worked to recreate it into a drama, based on the Hindu Ramayana and including dance, intended to be presented to Western tourist audiences. This transformation is an example of what James Clifford describes as part of the "modern art-culture system" in which, "the West or the central power adopts, transforms, and consumes non-Western or peripheral cultural elements, while making 'art' which was once embedded in the culture as a whole, into a separate entity."Spies worked with Wayan Limbak and Limbak popularized the dance by traveling throughout the world with Balinese performance groups. These travels have helped to make the Kecak famous throughout the world.
Performer, choreographer, and scholar I Wayan Dibia cites a contrasting theory that the Balinese where already developing the form when Spies arrived on the island. For example, well-known dancer I Limbak had incorporated Baris movements into the cak leader role during the 1920s. "Spies liked this innovation," and it suggested that Limbak, "devise a spectacle based on the Ramayana," accompanied by cak chorus rather than gamelan, as would have been usual.

5. Gamelan Music

A gamelan is a musical ensemble from Indonesia, typically from the islands of Bali or Java, featuring a variety of instruments such as metallophones, xylophones, drums and gongs; bamboo flutes, bowed and plucked strings. Vocalists may also be included.
The term refers more to the set of instruments than to the players of those instruments. A gamelan is a set of instruments as a distinct entity, built and tuned to stay together — instruments from different gamelan are generally not interchangeable.
The word "gamelan" comes from the Javanese word "gamel", meaning to strike or hammer, and the suffix "an", which makes the root a collective noun. Real hammers are not used to play these instruments as heavy iron hammers would break the delicate instruments.

6. Sydney Opera House

The Sydney Opera House is a multi-venue performing arts centre on Bennelong Point in Sydney, New South Wales, Australia. It was conceived and largely built by Danish architect J?rn Utzon, who in 2003 received the Pritzker Prize, architecture's highest honour.[1] The citation stated There is no doubt that the Sydney Opera House is his masterpiece. It is one of the great iconic buildings of the 20th century, an image of great beauty that has become known throughout the world – a symbol for not only a city, but a whole country and continent.
The Opera House was made a UNESCO World Heritage Site on 28 June 2007.[2] It is one of the 20th century's most distinctive buildings, and one of the most famous performing arts centres in the world.
The Sydney Opera House is situated on Bennelong Point in Sydney Harbour, close to the Sydney Harbour Bridge. It sits at the north-eastern tip of the Sydney central business district (the CBD), surrounded on three sides by the harbour (Sydney Cove and Farm Cove), and neighboured by the Royal Botanic Gardens.
Contrary to its name, the building houses several separate venues rather than a single opera theatre, the two main venues, the Opera Theatre and the Concert Hall, being housed in the two larger sets of shells. The Sydney Opera House is a major presenting venue for Opera Australia, The Australian Ballet, the Sydney Theatre Company and the Sydney Symphony, as well as hosting many touring productions in a variety of performance genres, and is a major tourist attraction. It is administered by the Sydney Opera House Trust, under the New South Wales Ministry of the Arts.
The Sydney Opera House is a modern expressionist design,with a series of large precast concrete 'shells',[3] each composed of sections of a hemisphere of the same radius, forming the roofs of the structure, set on a monumental podium. The building covers 1.8 hectares (4.5 acres) of land, and is 183 metres (605 ft) long and 120 metres (388 ft) wide at its widest point. It is supported on 588 concrete piers sunk as much as 25 metres below sea level. Its power supply is equivalent to that of a town of 25,000 people, and is distributed by 645.5 kilometres (401 miles) of electrical cable.[citation needed]
The roofs of the House are covered in a subtle chevron pattern with 1,056,006 glossy white and matte cream colored Swedish-made tiles from H?gan?s AB,[4] though from a distance the shells appear a uniform white. Despite the tiles' self-cleaning nature, they do require periodic maintenance and replacement.[citation needed]
The Concert Hall is located within the western group of shells, the Opera Theatre within the eastern group. The scale of the shells was chosen to reflect the internal height requirements, with low entrance spaces, rising over the seating areas and up to the high stage towers. The minor venues (Drama Theatre, Playhouse, and The Studio) are located beneath the Concert Hall, as part of the western shell group. A much smaller group of shells set to one side of the Monumental Steps houses the Bennelong Restaurant. Although the roof structures of the Sydney Opera House are commonly referred to as shells (as they are in this article), they are in fact not shells in a strictly structural sense, but are instead precast concrete panels supported by precast concrete ribs.

7. The Eiffel Tower

The Eiffel Tower (French: Tour Eiffel, [tu? ?f?l]) is a 19th century iron lattice tower located on the Champ de Mars in Paris that has become both a global icon of France and one of the most recognizable structures in the world. The Eiffel Tower, which is the tallest building in Paris, is the single most visited paid monument in the world; millions of people ascend it every year. Named after its designer, engineer Gustave Eiffel, the tower was built as the entrance arch for the 1889 World's Fair.
The tower stands at 324 m (1,063 ft) tall, about the same height as an 81-story building. It was the tallest structure in the world from its completion until 1930, when it was eclipsed by the Chrysler Building in New York City. Not including broadcast antennas, it is the second-tallest structure in France, behind the Millau Viaduct, completed in 2004. And while the Eiffel Tower is a steel structure, and weighs approximately 10,000 tonnes, it actually has a relatively low density, weighing less than a cylinder of air occupying the same dimensions as the tower.
The tower has three levels for visitors. Tickets can be purchased to ascend either on stairs or lifts to the first and second levels. The walk to the first level is over 300 steps, as is the walk from the first to the second level. The third and highest level is only accessible by lift. Both the first and second levels feature restaurants.
The tower has become the most prominent symbol of both Paris and France. The tower is a featured part of the backdrop in literally scores of movies that take place in Paris. Its iconic status is so established that it even serves as a symbol for the entire nation of France, such as when it was used as the logo for the French bid to host the 1992 Summer Olympics.
The metal structure of the Eiffel Tower weighs 7,300 tonnes while the entire structure including non-metal components is approximately 10,000 tonnes. Depending on the ambient temperature, the top of the tower may shift away from the sun by up to 18 cm (7.1 in) because of thermal expansion of the metal on the side facing the sun. As demonstration of the economy of design, if the 7300 tonnes of the metal structure were melted down it would fill the 125 meter square base to a depth of only 6 cm (2.36 in), assuming a density of the metal to be 7.8 tonnes per cubic meter. The tower has a mass less than the mass of the air contained in a cylinder of the same dimensions, that is 324 meters high and 88.3 meters in radius. The weight of the tower is 10,100 tonnes compared to 10,265 tonnes of air.
More than 200,000,000 people have visited the tower since its construction in 1889, including 6,719,200 in 2006, making it the most visited paid monument in the world.

8. Lake Toba

Lake Toba (Indonesian: Danau Toba) is a lake and super volcano, 100 kilometer long and 30 kilometer wide, and 505 meter (1,666 ft) at its deepest point. Located in the middle of the northern part of the Indonesian island of Sumatra with a surface elevation of about 900 meter (2,953 ft), the lake stretches from 2°53?N 98°31?E? / ?2.88°N 98.52°E? / 2.88; 98.52 to 2°21?N 99°06?E? / ?2.35°N 99.1°E? / 2.35; 99.1. It is the largest volcanic lake in the world.[1] In addition, it is the site of a super volcanic eruption that occurred about 74,000 years ago,[2] a massive climate-changing event. The eruption is believed to have had a VEI intensity of 8. This eruption, believed to have been the largest anywhere on Earth in the last 25 million years, may have had catastrophic consequences globally; some anthropologists and archeologists believe that it killed most humans then alive, creating a population bottleneck in Central Eastern Africa and India that affected the genetic inheritance of all humans today.
Most of the people who live around Lake Toba are ethnically Bataks. Traditional Batak houses are noted for their distinctive roofs (which curve upwards at each end, as a boat's hull does) and their colorful decor.
Lake Toba offers a nurturing environment for fish such as the tilapia mossambica, aplocheilus pachax, lebistes reticulatus, osphronemus goramy, trichogaster trichopterus, channa striata, chana gachua, clarias batrachus, clarias nieuhofi, clarias. sp., nemachilus fasciatus, cyprinus carpio, puntius javanicus, puntius binotatus, osteochilus nasselti, lissochilus sp., labeobarbus sora, and rasbora sp.[17]
Many other types of plants and animals live within the boundaries of Lake Toba. Flora organisms include various types of phytoplankton, emerged macrophytes, floating macrophytes, and submerged macrophytes. Fauna include several variations of zooplankton and benthos.

9. The Great Wall of China

The Great Wall of China (simplified Chinese: ??; traditional Chinese: ??; pinyin: Ch?ngchéng; literally "long city/fortress") or (simplified Chinese: ????; traditional Chinese: ????; pinyin: Wànl? Ch?ngchéng; literally "The long wall of 10,000 Li (?)"[1]) is a series of stone and earthen fortifications in northern China, built, rebuilt, and maintained between the 5th century BC and the 16th century to protect the northern borders of the Chinese Empire from Xiongnu attacks during various successive dynasties. Since the 5th century BC, several walls have been built that were referred to as the Great Wall. One of the most famous is the wall built between 220–206 BC by the first Emperor of China, Qin Shi Huang. Little of that wall remains; the majority of the existing wall were built during the Ming Dynasty.
The Great Wall stretches from Shanhaiguan in the east to Lop Nur in the west, along an arc that roughly delineates the southern edge of Inner Mongolia. The most comprehensive archaeological survey, using advanced technologies, has recently concluded that the entire Great Wall, with all of its branches, stretches for 8,851.8 km (5,500.3 mi). This is made up of 6,259.6 km (3,889.5 mi) of sections of actual wall, 359.7 km (223.5 mi) of trenches and 2,232.5 km (1,387.2 mi) of natural defensive barriers such as hills and rivers.
Before the use of bricks, the Great Wall was mainly built from Earth or Taipa, stones, and wood.
During the Ming Dynasty, however, bricks were heavily used in many areas of the wall, as were materials such as tiles, lime, and stone. The size and weight of the bricks made them easier to work with than earth and stone, so construction quickened. Additionally, bricks could bear more weight and endure better than rammed earth. Stone can hold under its own weight better than brick, but is more difficult to use. Consequently, stones cut in rectangular shapes were used for the foundation, inner and outer brims, and gateways of the wall. Battlements line the uppermost portion of the vast majority of the wall, with defensive gaps a little over 30 cm (one foot) tall, and about 23 cm (9 inches) wide.
Selengkapnya...

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

A. Pendahuluan
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistemnilai
acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai
sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka
arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya:
(1)pengembangan ilmu pengetahuan,
(2) pengembangan hukum,
(3) supremasi hukumdalam perspektif pengembangan HAM,
(4) pengembangan sosial politik,
(5)pengembangan ekonomi,
(6) pengembangan kebudayaan bangsa,
(7) pembangunanpertahanan, dan
(8) sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai titik tolakmemahami asal mula Pancasila.

B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak
Memahami Asal Mula Pancasila
Asal mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan
dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah
pergerakan nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa
proses perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat NKRI.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila bermula dari tradisi hidup-berdampingan
(antar-yang-berbeda agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik yang
anti-penjajahan untuk mencita-citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan
sebagainya. Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, dan
agama-agama bangsa Indonesia.
Secara formal, perumusan Pancasila disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1
Juni 1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945). Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan kedalam: (1)
causa materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan, (2) causa formalis dan finalis, yaitu
terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi kemerdekaan,
(3) causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan.

C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan
di atas Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.
Pada ontologisnya berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas
manusia Indonesia yang tidak mengenal titik-henti dalam upayanya untuk mencari
dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai
masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti
mewujud dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam
scientific activity; sebagai produk berarti mewujud dalam scientific product beserta
aplikasinya.
Pada epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandungnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalammengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu sendiri.
Pada aksiologisnya berarti bahwa dengan menggunakan epistemologi
tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif
tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau
mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Atas dasar itu, perguruan tinggi harus mewujud secara kultural dan struktural
dalam tradisi akademis/ilmiah. Kultural dalam arti sivitas akademikanya memiliki
sikap akademis yang selalu berusaha sebagai ‘pemusafir’ ilmu pengetahuan yang
tanpa batas. Struktural dalam arti dunia perguruan tinggi harus dipupuk secara
demokratis dan terbuka melalui wacana akademis—harus melepaskan diri sebagai
‘jawatan’—agar kreativitas dan daya inovasi dapat berkembang, sehingga tugas
tridharma perguruan tinggi dapat berjalan dan berhasil secara optimal.

D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,
yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi,
yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila,
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan
bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh
negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan
ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU
dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (silasila
Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan
hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk
tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha
Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum
responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).


E. Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM
Dalam negara hukum, supremasi hukum pun harus menjamin bahwa HAM
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh hukum; HAM harus sebagai ciri negara hukum.
Secara objektif, HAM merupakan kewenangan-kewenangan pokok yang
melekat pada manusia (atau melekat pada kodrat manusia), yang harus diakui dan
dihormati oleh masyarakat dan negara. HAM itu universal, tidak tersekat oleh suku,
bangsa, dan agama; tetapi tatkala HAM dirumuskan dalam UUD (konstitusi), ia
menjadi berbeda-beda menurut ideologi, menurut kultur negara masing-masing.
Begitu juga di Indonesia, HAM Indonesia adalah HAM yang berlandaskan
pada Ideologi Pancasila. Ini berarti bahwa HAM di Indonesia (sila Kedua) harus
yang berlandaskan pada dan bertanggungjawab kepada Tuhan (sila Pertama), harus
yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara (sila Ketiga), harus yang
diakui/disepakati dan dihormati oleh masyarakat/rakyat (sila Keempat), dan harus
yang diimbangi oleh kewajiban-kewajiban sosial(sila Kelima).

F. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
•Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
•Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
•Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan;
•Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab;
•Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai
sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).

G. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi
atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan
perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak
lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah
koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program
kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih
mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan
demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan kepastian hukum.

H. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan
Bangsa
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat,
di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu
secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi
sukubangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan
pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan
kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi
kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama,
bagi kebudayaan-kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun
sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang
tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua,
merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia
tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu
bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan
nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima,
betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan
Paradigma-baru TNI dalam rangka menjadikan Pancasila (sila-sila Pancasila)
sebagai paradigma pembangunan pertahanan adalah berupa: (1) Tindakan TNI
senantiasa: (a) melaksanakan tugas negara dalam rangka pemberdayaan kelembagaan
fungsional, (b) atas kesepakatan bangsa, (c) bersama-sama komponen strategis
bangsa lainnya, (d) sebagai bagian dari sistem nasional, (e) melalui pengaturan
konstitusional; dan (2) pada hakikatnya merupakan pemberdayaan bangsa.
Esensi implementasi paradigma-baru itu—secara internal TNI—berupa:
(1) tanggalkan kegiatan sosial politik, (2) bertugas pokok pada pertahanan negara
terhadap ancaman dari luar negeri, (3) keamanan dalam negeri merupakan fungsi
Polri, (4) melakukan penguatan dan penajaman pada konsistensi doktrin gabungan
(keseimbangan AD-AL-AU).
Paradigma-lama TNI (ABRI) berupa: (1) pendekatan keamanan pada
masalah kebangsaan, (2) posisi ABRI dekat dengan pusat kekuasaan, (3) ABRI
sebagai penjuru bagi penyelesaian segenap masalah kebangsaan, (4) ABRI dapat
ambil inisiatif bagi penyelesaian masalah kebangsaan, (5) ABRI berperan dalam
sistem politik nasional, (6) bermitra tetap dalam politik: dukung mayoritas tunggal
(ABG).

J. Implikasi Paradigma Pancasila pada Pemahaman UUD 1945
Karena Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup (PH), dasar negara
(DN), dan tujuan negara (TN) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia harus
dijadikan sistem nilai acuan (paradigma) dalam memahami UUD 1945.
Selanjutnya, karena UUD 1945 merupakan hukum dasar (yang tertulis) bagi segala
norma moral bangsa (NM), norma hukum nasional (NH), dan norma
politik/kebijakan pembangunan (NK), ia harus dijadikan landasan bagi pembangunan
moral bangsa, hukum nasional, dan kebijakan pembangunan nasional di segala
bidang. Sehingga, pembangunan moral, hukum, dan kebijakan pembangunan di
Indonesia harus dalam kerangka merealisasikan, selalu berada di jalur, dan selalu
mengacu pada nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila.
Implikasinya pada pemahaman UUD 1945 dapat dijelaskan bahwa setiap
pemaknaan, penafsiran-kembali, atau perubahan UUD 1945 harus ditempatkan dalam
kerangka memahami, merealisasikan, menjabarkan, menegakan, dan mengacu pada
nilai-nilai yang terkandung dalam kesatuan sila Pancasila.

K. Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi dan Era
Global
Di era reformasi dan era global ini kita menyaksikan seakan-akan Pancasila
begitu ‘hilang dari peredaran’, padahal ia sesungguhnya merupakan ideologi
bangsa/negara Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa
Indonesia.
‘Kehilangan’ ini tampak pada adanya dua fenomena, sebagai contoh, berikut:
1. Dalam berpraktek politik kenegaraan, yang menonjol kini adalah aktualisasi
ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan yang ditunjukan oleh pribadipribadi,
partai-partai politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya.
Mereka cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau
daerah daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi
krisis bangsa yang multidimensional.
2. Dalam berpraktek ekonomi nasional, yang menonjol kini adalah aktualisasi jualbeli
uang, lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain
sebagainya yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik
pemain domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau
yang lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih
besar, dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Fenomena seperti itu, kemudian mengundang kita untuk berpikir: Bagaimana
mengatasinya? Secara ideologis, jawabannya adalah dengan cara reinterpretasi dan
reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Agar reinterpretasi dan reaktualisasi Pancasila itu
tepat—yang pada akhirnya akan dapat memahami UUD 1945 secara benar—,
diperlukan pemahaman Pancasila:
1. Yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan empiris dan objektif dari sejarah nilainilai
budaya bangsa Indonesia sejak budaya suku-suku asli sampai dengan saatsaat
menjelang tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila disahkan oleh PPKI.
2. Ini diperlukan untuk lebih meyakini bahwa Pancasila itu milik bangsa Indonesia
sejak dahulu kala; yang lahir dan berkembang di dalam sejarah manusia dan
bangsa Indonesia.
3. Yang diyakini bahwa ideologi Pancasila itu berguna dalam menjawab dan
mengatasi permasalahan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, yaitu
terutama permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan: (1) yang
tidak terjawab oleh masing-masing agama di Indonesia, (2) yang tidak
terjangkau oleh masing-masing
budaya-lokal, oleh ideologi-ideologi partisan di Indonesia, atau oleh ideologiideologi
global di dunia, (3) yang tidak terakomodasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi, (4) yang tidak terpikirkan oleh ilmuwan/pemimpin/ tokoh bangsa di
Indonesia, dan (5) yang belum teralami oleh hidup manusia/masyarakat
Indonesia.
4. Yang sedang ditantang oleh globalisasi ilmu pengetahuan dan informasi,
liberalisasi ekonomi/perdagangan, globalisasi politik dan hukum/HAM yang
liberal (west-vision), standardisasi kualitas lingkungan hidup (yang ramah
lingkungan) global, dan seterusnya.
Tegasnya, kini tidak bisa lagi memahami Pancasila dan UUD 1945 secara
mengabaikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, berpikir dan bersikap eksklusif
seakan-akan pihak dirinya yang paling benar, dan menutup diri dari pengaruh
globalisasi. Selengkapnya...

MASIH RELEVANKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

Catatan Peringatan Hari Lahir Pancasila
(Rudy Handoko)

Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi semangat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.

Namun, sayangnya, di zaman yang lalu, ideologi Pancasila dengan sengaja mengalami disorientasi dan degradasi nilai, yang mana proses penanaman nilai-nilai murni dan luhurnya hanya menjadi sebuah rekayasa politik untuk menciptakan sebuah kesadaran palsu yang berguna untuk mengamankan kekuasaan. Kenaifan yang dilakukan ini, oleh David E. Apter karena “ideologi mencakup lebih dari sekadar doktrin. Ia mengaitkan tindakan-tindakan yang khas dan praktek-praktek duniawi dengan sejumlah makna yang lebih luas, yang memberi penampakkan tingkah laku sosial lebih dihormati dan dihargai. Tentu saja, ini merupakan pandangan umum. Dari sudut pandang lain, ideologi adalah selubung bagi keinginan dan penampakan yang sesungguhnya busuk.”Sedangkan Gramsci menjelaskan, bahwa ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari berhasil atau tidaknya dia menjadi suatu kontrak sosial yang mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu entitas dalam hal ini bernama negara dan bangsa. Untuk kasus Pancasila, peranannya sebagai elemen fundamental dalam proses integrasi sosial yang tidak artifisial masih punya potensi yang kuat. Artinya, dalam keadaan negara kita terancam disintegrasi, kita masih bisa berharap ideologi Pancasila akan efektif untuk menjadi perekat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Paling tidak, kita berharap masih bisa berusaha menjadikannya sebagai modal sosial yang masih di-amini oleh sebagian besar rakyat untuk mengatasi berbagai konflik atau kemacetan bangsa, melalui apa yang disebut ideologi sebagai solusi yang disepakati bersama.

Ideologi Pancasila dan Tantangan Dunia
Tantangan bagi suatu ideologi apalagi seperti Pancasila yang indigenous milik Indonesia, adalah apakah Pancasila masih relevan menghadapi gelombang globalisasi dan demokratisasi yang nyaris melintasi segala tapal batas geografis dan demografis suatu komunitas sosial? Pertanyaan tentang relevansi ideologi dalam dunia yang berubah dinamis, muncul dengan mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa berupa kerangka nasionalisme tertentu dari masing-masing negara-bangsa, maupun dalam tataran ideologi-ideologi besar dunia yang pernah muncul dan berjaya.
Dus…kita menyaksikan, gelombang demokrasi yang berlangsung telah mengakibatkan runtuhnya rezim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, membuat ideologi itu seolah-olah tidak relevan. Sehingga Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history”, dan menetapkan satu-satunya ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat. Ternyata ideologi liberalisme-kapitalisme Barat yang muncul sebagai pemenang sampai saat ini tampil dominan dan mempengaruhi banyak komunitas sosial dan bahkan muncul sebagai kekuatan penindas baru yang hegemonik.Gelombang demokratisasi yang digaungkannya diselipi dengan pemaksaan globalisasi yang nyaris memangkas habis ideologi lainnya dan seakan-akan membuat ideologi lain makin tidak relevan dalam dunia.
Globalisasi yang mengandung cacat bawaan dengan berbagai absurditas dan kontradiksi, memang berhasil menyingkirkan banyak ideologi-baik universal maupun lokal. Akan tetapi globalisasi mendorong pula bangkitnya nasionalisme lokal yang sempat terkubur, bahkan dalam bentuknya yang sarkastik, yakni semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism. Nah, hal inilah pula yang juga melanda Indonesia ketika diterpa krisis moneter, ekonomi, dan politik sampai runtuhnya orde baru yang memunculkan euphoria masyarakat karena memang selama ini selalu diam dan tertindas. Juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis dan common platform bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah-olah semakin kehilangan relevansinya.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan dipaksakan oleh rezim yang memerintah negeri ini di masa lalu dalam memperlakukan Pancasila ternyata memang memberikan kontribusi terhadap resisten-nya Pancasila pasca reformasi. Pancasila dicemari karena kebijakan rezim yang hanya menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Dominasi dan hegemonisasi interpretasi dan pemahaman Pancasila yang dilakukan meninggalkan benih resistensi itu. Apalagi ketika Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bukan dimaknai sebagai atau coba dihayati dengan arif sebagai asas bersama. Model-model seragamisasi itu amat menyakitkan, sehingga ketika terjadi keterbukaan sosial-politik yang selama ini dikekang, membuat euphoria itu muncul tak terkontrol dan menafikan Pancasila, karena selama ini Pancasila tidak ditanamkan melalui proses pencerahan fajar budi dan pembelajaran-penyadaran tapi lewat uniformitas dan represifitas itu tadi. Euphoria ini, memberikan peluang bagi penerimaan atas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama dan sektarianisme lainnya. Pancasila jadinya cenderung tidak laku menjadi common platform dalam kehidupan politik. Hal ini kemudian diperparah dengan arus sektarianisme dan primordialisme yang meningkat menuju local-nationalism yang bisa menggiring kearah ethno-nationalism, seiring desentralisasi.
Secara an sich tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru selama ini adalah buah kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang universal, yang pada dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-Tuhan sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, indahnya kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan mendahulukan atau pro-kerakyatan dan hikmah serta mendeklarasikan pula penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan yang egalitarian. Nilai-nilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas sosial bersama.

Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik saat ini, ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa sih yang mampu menjatidirikan negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme dan kapitalisme global. Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral. Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan, toh tak ada yang salah. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa…sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi. Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak.
Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti menjamin adanya persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang. Pancasila dalam Konteks Sosial Politik
Akhir-akhir ini diskusi tentang kebhinekaan pun menjadi semakin asyik, karena sedang terjadi ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai masalah terutama tentang pluralisme dan kebijakan yang berkenaan atau menyentil rasa kebhinekaan. Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya, dan konsistensi menjadikan Pancasila sebagai falsafah/ideologi Negara, telah mengemuka di ruang publik. Pro dan kontra di ikuti dengan ketegangan-ketegangan malah show of force semakin sering terjadi. Ada yang merasa benar, ada yang merasa unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang merasa terancam.
Seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwa…salah satu hal yang menjadi kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai dan standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan dipaksakan untuk menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno dan tidak porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal. Bagi bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga memantik rasa ketidakadilan. Endingnya bisa muncul problem sektarianisme dan primordialisme sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila kembali harus dimunculkan sebagai suatu nilai yang sedapat mungkin masih diterima bersama selama Indonesia masih ada. Sesungguhnya Pancasila masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang meletakkan seluruh kepentingan pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang utama bagi eksistensi Indonesia. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang teramat rentan, nilai-nilai multikulturalisme yang ada pada Pancasila menjadi faktor penyelamat negara-bangsa. Sekarang…Pancasila seharusnya kembali menjadi suatu milik bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana bersama, pengembangan kembali
Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi pluralisme Indonesia.*
Bergerak dan Revolusi
Di daur ulang dari berbagai sumber oleh : HARY PR, ST.

Ada dua kelas yang berhadapan muka dalam kondisi tak terdamaikan di tengah masyarakat modern: kelas buruh dan kelas kapitalis. Kelas buruh tidak memiliki hak apapun atas alat-alat produksi dan, dengan demikian, harus menjual satu-satunya yang ada padanya, tenaga untuk bekerja, kepada kelas kapitalis, yang memiliki seluruh alat produksi yang ada. Selain kedua kelas itu, terdapat pula kelas pekerja yang lain, yang belum sepenuhnya kehilangan hak milik atas alat produksi, tapi juga tetap harus membanting tulang untuk penghidupannya: kelas petani, pedagang kecil dan artisan. Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain. Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya: proses produksi.
Kedudukan yang mengambang itu membuat mahasiswa menjadi sasaran empuk bagi semua pihak yang memiliki kepentingan kelas. Khususnya mereka yang berada di pihak borjuasi. Ini adalah konsekuensi logis dari sistem pendidikan di bawah sistem masyarakat borjuasi : kaum borjuasilah yang membiayai sekolah-sekolah. Pada awalnya, sekolah-sekolah hanya menerima anak-anak kelas berkuasa. Sekolah dipergunakan untuk mencetak kader-kader penerus kelas berkuasa - seperti terlihat pada sekolah-sekolah di bawah sistem feudal yang hanya dihadiri oleh pangeran-pangeran atau calon abdi istana. Sekolah calon abdi, seperti namanya, tentulah diarahkan untuk mempersiapkan orang-orang yang akan mengabdi pada kaum feudal itu. Sekolah-sekolah borjuasi dibuka untuk umum tapi biayanya mahal sehingga hanya anak-anak orang kaya (yaitu, anak-anak borjuasi atau feudal) yang dapat bersekolah di situ. Barulah setelah kaum buruh melakukan perlawanan hebat sekolah-sekolah ini dibuka untuk umum dengan biaya murah. Salah satu perlawanan yang terhebat berlangsung di Inggris, di mana ratusan ribu buruh di bawah bendera gerakan Chartist di akhir abad kedelapan belas melancarkan tuntutan untuk hak pilih umum (universal suffrage) dan pendidikan murah untuk semua.
Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan mahasiswa kian ramai. Salah satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas": memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi itu, anak-anak kelas pekerja akan mau mengkhianati kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kelas pekerja. Mereka menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat. Di pihak lain, kaum mahasiswa pro gerakan sosialis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kelas pekerja dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kelas pekerja, terutama kelas buruh. Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat pekerja ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan kelas pekerja yang revolusioner.
Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kelas pekerja ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kelas pekerja merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Pertarungan ideologis di sektor mahasiswa
Pertempuran yang terjadi untuk memperebutkan keberpihakan sektor mahasiswa ini sesungguhnya tidak berjalan seimbang. Di satu pihak, kaum borjuasi, karena menguasai negara, menguasai pula segala alat yang dipergunakan untuk mengadakan pendidikan. Di pihak
lain, kaum sosialis hanya bermodalkan semangat dan dukungan organisasi untuk merebut alat-alat pendidikan itu bagi kepentingan kemenangan rakyat tertindas. Kaum borjuasi memiliki segala-galanya. Sejak seseorang menginjakkan kakinya pertama kali di sekolahnya yang pertama, ia sudah diajari bahwa segala yang berbau sosialis adalah jelek. Setelah ia beranjak dewasa dan kesadaran kritisnya mulai muncul, dijejalkanlah segala macam penjelasan "ilmiah" dari kaum borjuasi untuk membenarkan keberadaannya di dunia ini. Sejak dari sistem berpikir, teori ekonomi, teori politik, filsafat, dsb. Bahkan sampai bagaimana tiap ilmu dipisah-pisahkan sedemikian rupa sehingga, tanpa pendalaman terhadap metode berpikir yang benar, yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah itu, seseorang tidak akan dapat merangkaikan kebenaran-kebenaran parsial yang terdapat di masing-masing ilmu menjadi satu kebenaran yang utuh. Tanpa metode berpikir yang benar, seseorang yang mempelajari filsafat tidak akan dapat menerima bahwa filsafat harus dapat menjelaskan pula gejala-gejala yang terkandung dalam ilmu-ilmu fisika, misalnya. Seseorang yang menggeluti politik atau hukum tidak akan pula dapat melihat bahwa pelajaran terpenting yang harus digugunya terdapat dalam ilmu arkeologi. Belu lagi para guru yang mengajar di sekolah-sekolah ini juga berasal dari sistem pendidikan guru yang dikendalikan oleh borjuasi. Dengan demikian, guru-guru ini juga menjadi pelayan sistem borjuasi itu sendiri. Lembaga keguruan merupakan satu lembaga yang berdiri di luar masyarakat, merupakan lembaga yang bersifat reguler (standing institution), dan digaji penuh untuk menjalankan tugas pelayanannya terhadap kepentingan borjuasi itu.
Pemahaman terhadap hal ini akan membuat kita sanggup melecehkan istilah industri pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai salah satu sektor industri jasa. Kita kini sudah melihat bahwa pendidikan adalah sebuah kelembagaan yang lebih bersifat ideologis daripada sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya. "Industri pendidikan" hanyalah sebuah alasan yang dikemukakan kaum borjuasi untuk memblokade masuknya anak-anak kelas pekerja ke dalam pendidikan ini. Pendidikan bagi anak-anak kelas pekerja ini, menurut kaum borjuasi, cukuplah di bidang-bidang teknik yang praktis agar dapat menjadi tenaga trampil di pabrik-pabrik. Supaya monopoli atas pengetahuan tetap terjaga, supaya anak-anak kelas pekerja yang sanggup (dengan susah-payah) masuk ke dalam sistem pendidikan itu dapat dengan mudah dibeli, dan untuk melemahkan sektor mahasiswa yang sudah terbukti dari sejarahnya kerap menjadi pemicu bagi perlawanan kelas pekerja itu sendiri.
Pendidikan bukanlah sebuah industri jasa. Pendidikan adalah mesin ideologis yang akan membentuk kader-kader dan pelayan-pelayan kaum borjuasi. Berhadapan dengan kondisi suram ini, apakah yang dapat diperbuat oleh kaum kritis terhadap sektor mahasiswa? Pertama-tama haruslah disadari bahwa seluruh pelajar, mahasiswa tidak terkecuali, berada di bawah hujan propaganda kaum borjuasi. Propaganda yang datang dalam bentuk, lisan, tulisan, bentuk-bentuk budaya, lingkungan pergaulan. Kaum gerakan mahasiswa haruslah membuat kampus dan sekolah-sekolah memancarkan aroma kelas pekerja. Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu bersepakat tentang apa yang disebut dengan "aroma kelas pekerja" itu. Budaya kelas pekerja bukanlah sekedar budaya "dari jam sembilan sampai jam lima", alias kerja kantoran. Budaya kelas pekerja juga bukan budaya tinggal berlama-lama di kantor, pabrik atau sekretariat. Budaya kelas pekerja adalah, di atas segalanya, disiplin dalam demokrasi. Berteguh melaksanakan kerja-kerja yang telah dibagikan melalui diskusi-diskusi yang demokratik, melalui keputusan mayoritas. Kita akan kembali lagi pada hal ini di belakang.
Gerakan mahasiswa harus selalu menggunakan alat-alat yang dapat seluas mungkin berbicara kepada setiap mahasiswa mengenai isu-isu tertinggi yang mungkin dipergunakan. Contohnya, ketika situasi sangat represif, kaum gerakan harus dengan semangat melancarkan agitasi dari orang ke orang dengan isu demokratisasi kampus. Namun, ketika situasi terbuka telah didapatkan, kaum gerakan harus mempergunakan koran untuk berproganda tentang sosialisme di kampus. Media yang sanggup menjangkau seluas mungkin massa dan isu yang sanggup menggerakkan sebanyak mungkin orang, sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungan termaksud. Namun, hal ini saja belum cukup. Hujan propaganda borjuasi dilancarkan secara sistemik, terorganisir dan menyeluruh. Maka, untuk sanggup mematahkan itu, kaum sosialisme gerakan harus pula membangun satu lingkungan kelas pekerja di tengah-tengah kampus - dengan satu peringatan : tanpa menjadikan kaum sosialisme gerakan itu sebuah sekte yang eksklusif dan menakutkan bagi massa mahasiswa secara luas. Pendeknya, gerakan mahasiswa tidak boleh dibiarkan menjadi gerakan mahasiswa an sich. Sebaliknya, menjadikan tugas kaum sosialisme gerakan untuk semakin banyak memasukkan anggota- anggota kelas pekerja ke dalam pendidikan tinggi dan mempertahankan keberpihakan mereka kepada kepentingan kelas mereka sendiri. Kaum sosialisme gerakan tidaklah boleh berhenti bergerak demi sebuah 'pendidikan murah untuk semua' demi tercetaknya kader-kader kelas pekerja yang berketrampilan tinggi. Semakin banyaknya kader-kader kelas pekerja di dalam lingkungan pendidikan tinggi juga memudahkan pembangunan satu lingkungan beraroma kelas pekerja di dalam kampus, melancarkan penerimaan isu-isu ekonomis di dalam kampus, dan mendekatkan massa mahasiswa secara personal kepada isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat pekerja di luar tembok-tembok kampus.
Dengan agitasi dan propaganda yang luas, dan pembangunan lingkungan beraroma kelas pekerja, setidaknya di kalangan kaum sosialis itu sendiri, kita boleh mengharapkan agar gerakan mahasiswa ini menjadi semakin kental dalam hegemoni kelas pekerja. Jika proses ini dapat dilalui dengan berhasil, upaya memenangkan massa mahasiswa yang lebih luas akan mendapatkan pelumas yang sangat manjur. Apalagi yang mampu mematahkan lingkungan penuh kesenangan dan hura-hura ala mahasiswa, kecuali jika mereka melihat bahwa budaya kelas pekerja mutlak unggul dari budaya kesenangan yang selama ini mereka anut? Sebagai penyimpulan, tugas kaum gerakan di tengah gerakan mahasiswa adalah membangun komunitas luas yang terhubung secara fisik dan ideologis dengan gerakan kelas pekerja itu sendiri.

Setelah itu
Tentu saja kita tidak boleh menunggu agar komunitas kita besar terlebih dahulu sebelum melancarkan propaganda ke kalangan yang lebih luas, terutama gerakan mahasiswa pada umumnya. Pandangan-pandangan serupa "Kita masih kecil dalam jumlah", atau "Kita belum cukup kuat", sesungguhnya menunjukkan ketidakyakinan ideologis yang mendalam. Akibat lanjutan yang dapat muncul kemudian jika ketidakyakinan ini tidak segera diatasi adalah watak-watak sektarian dalam pergerakan.
Segera setelah komunitas sosialis dalam gerakan mahasiswa terbentuk, ia harus melancarkan pula propaganda yang diarahkan pada massa mahasiswa, khususnya gerakan mahasiswa pada umumnya. Hal yang terutama, harus dipropagandakan oleh kaum sosialis di tengah gerakan mahasiswa? bahan propaganda ini tentulah diutamakan yang menyangkut upaya untuk memperbesar pengaruh keberpihakan pada gerakan buruh dan kelas pekerja lainnya di tengah gerakan mahasiswa, termasuk propaganda-propaganda yang perlu untuk mencegah gerakan mahasiswa berdiri sebagai suatu gerakan yang terpisah, mandiri, terutama dari gerakan kelas pekerja.
Gerakan mahasiswa perlu mengkritisi tanpa ampun sikap umum perkumpulan mahasiswa yang enggan menggabungkan diri dengan gerakan rakyat pekerja, sikap-sikap non-partisan yang tak berprinsip, dan penyakit-penyakit sektarian lain antar mereka sendiri yang kerap diidap oleh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa juga perlu menggunakan segala macam cara yang dikuasainya - memohon pengertian atau mengungkapkan peringatan-peringatan keras, tajam atau lembut, keras atau lunak - agar pemahaman itu dapat menancap dalam-dalam di kepala dan hati massa mahasiswa.
Mengangkat isu-isu kampus menjadi isu-isu yang menyangkut kepentingan rakyat pekerja secara umum, dan sebaliknya, isu-isu rakyat pekerja harus terus diperkenalkan kepada komunitas massa mahasiswa di dalam kampus. Dengan demikian roda revolusi yang digulirkan oleh para Gerakan mahasiswa menjadi kelompok yang pertama mempropagandakan dan melancarkan aksi-aksi massa dalam setiap kesempatan, walau sekecil apapun, yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan watak sejati dari para penguasa birokrasi kampus. Selain itu kaum gerakan harus pula menjadi yang pertama untuk mempromosikan solidaritas terhadap gerakan di kampus lain, mendorong terbentuknya satu penyatuan dalam gerakan mahasiswa di tingkatan yang lebih luas. Walau tetap harus diperhatikan prinsip-prinsip dalam beraliansi, antara lain kebebasan untuk menjalankan kritik bahkan terhadap kawan-kawan aliansi, penyatuan kekuatan harus dijadikan prioritas utama. Terlebih ketika berhadapan dengan Negara Borjuasi yang represif.
Pendeknya, gerakan mahasiswa harus menjadi pelopor sejati, bukan hanya dalam teori. Namun, di samping semua itu, gerakan mahasiswa menempati posisi khusus dalam kancah revolusioner. Dengan demikian, tugas untuk mempelajari berbagai teori dan sejarah revolusi menempel dengan kuat di pundak gerakan mahasiswa. Selain itu juga mengemban tugas yang berat untuk menyediakan bacaan bagi seluruh rakyat pekerja. Adalah tugasnya, walaupun sangat berat, untuk mempelajari segala bahasa asing yang mungkin dikuasai, agar dapat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai artikel dan buku yang selama ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir kalangan saja. Ia juga harus menuntut dibukanya perpusatakaan publik. Hal ini semakin membuat hubungan secara fisik dan ideologis. Dengan demikian, apa yang dipikirkannya, kesadarannya, adalah kesadaran dari lingkungan yang hegemonik baginya, yaitu lingkungan kelas pekerja. Dengan demikian pula, ia dapat berbagi apa yang telah dihasilkannya dalam kerja-kerja mental itu kepada gerakan kelas pekerja, menerangkan kepada gerakan kelas pekerja dalam bahasa mereka sendiri, dan membantu gerakan kelas pekerja untuk mewujudkan segala hasil kerja mental itu.
http://harypr.com/artikel8.php Selengkapnya...