;
headline photo

TINJAUAN UMUM ILLEGAL LOGGING

Minggu, 10 Januari 2010


Pengertian illegal logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Dan Log adalah kayu gelondongan (logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.
Secara umum illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.Essensi yang penting dalam praktek penebangan liar (illegal logging) ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial.Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik seperti konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.
Akar Permasalah dalam Illegal Logging, dimana paling sedikit ada 4 (empat) macam yaitu :
1.Sistem Pengelolaan Hutan di Indonesia yang membuka ruang untuk terjadinya praktek illegal logging.
2.Tingkat kesejahteraan (gaji) Pejabat, Petugas dan masyarakat sekitar hutan rendah.
3.Mentalitas yang tidak baik.
4.Kontrol yang lemah, baik kontrol instansional maupun kontrol sosial.
Dampak kerusakan ekologis (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) menurut berbagai penelitian yang dilakukan oleh para pakar pemerhati lingkungan dan kehutanan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi, disinyalir sebagai akibat dari kerusakan hutan sebagai dampak dari penebangan liar (illegal logging). Selain bencana alam, penebangan liar (illegal logging) ini juga menimbulkan kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka.
Dampak kerugian ekonomi yang ditanggung oleh Negara dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh David W. Brown pengamat ekonomi kehutanan dari Departement For International Development (DFID) yang mengkalkulasikan kerugian finansial yang ditanggung pemerintah akibat perdagangan kayu liar (illegal timber trading) adalah sebesar US $ 1,632 milliar per tahun dan kerugian akibat penebangan liar (illegal logging) di Indonesia mencapai US $ 5,7 miliar per tahun. Angka tersebut diperoleh dari perhitungan 68 juta meter kubik kayu illegal yang dikonsumsi pabrik kayu dalam negeri untuk diolah senilai US $ 4,08 miliar dikalikan dengan pajak yang harus dibayar setiap meter kubik kayu, sebesar US $ 24.
IV. TINJAUAN HUKUM LINGKUNGAN TERHADAP ILLEGAL LOGGING
Undang-undang Dasar 1945, memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengelolaan sumber daya alam hayati, seperti disebut dalam pembukaan dan khususnya pada pasal 33 ayat 3 yang menyatakan dengan tegas bahwa kekayaan alam indonesia, termasuk sumber daya alam hayati yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.
Asas pelestarian yang bersifat ekologis dengan sudut pandang yang menyeluruh secara tegas ditemukan dalam UU No. 4 tahun 1982 (diperbaharui dengan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), pasal 3 undang-undang ini dengan tegas menyatakan bahwa asas pelestarian kemampuan lingkungan merupakan landasan hukum bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) dan dalam Pasal 12 UULH-82 diatur tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.
Undang-undang No.23/1997 memberikan pengertian konservasi dalam pasal 1 butir 15 : ”Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya”. Dimana dari uraian tersebut menegaskan adanya tiga kegiatan untuk melakukan konservasi alam hayati dan ekosistemnya untuk menetapkan ukuran-ukuran yang pasti tentang apa yang disebut pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan yaitu :
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan,
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam pasal 1 butir 14 UU PLH No. 23/1997 yaitu bahwa ” perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.
Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan adalah merupakan suatu kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 48 UU No. 23/1997 bahwa ”tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini adalah kejahatan”. Bab yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Bab IV UU No.23/1997 tentang ketentuan pidana, yang didalamnya dirumuskan tentang ketentuan pidana terhadap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Perusakan hutan adalah merupakan salah satu bentuk perusakan lingkungan, oleh karena itu maka perusakan hutan adalah merupakan suatu kejahatan. Salah satu bentuk perusakan hutan itu adalah penebangan liar (illegal logging).

TINJAUAN HUKUM KEHUTANAN TERHADAP ILLEGAL LOGGING
Pengertian hutan menurut Pasal 1 butir 2 UU No. 41/1999 adalah : “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Hukum Kehutanan menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang tersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya. Dimana terdapat dua kepentingan dalam sistem pengelolaan hutan yang saling mempengaruhi yaitu kepentingan pemanfaatan dan kepentingan perlindungan hutan.
Perlindungan hutan menurut Pasal 47 UU No. 41/1999 dirumuskan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan;
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Sementara perusakan hutan menurut UU No.41/1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : ”yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.
Penebangan liar (illegal logging) adalah salah satu bentuk kejahatan dalam bidang kehutanan dan belum diatur secara spesifik dalam suatu ketentuan undang-undang tersendiri. Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) masih mengacu kepada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 Jo Pasal 78 UU No. 41/1999.
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41/1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif.
Uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh pasal 78 UUNo.41/1999 terdapat unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu :
a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
c. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang.
d. Menebang pohon tanpa izin.
e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
f. Menangkut, menguasai atau memilki hasil hutan tanpa SKSHH.
g. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
Rumusan tersebut di atas menggambarkan selektifitas dari ketentuan hukum dimana sasaran penegakan hukumnya belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Secara tegas UU No. 41/1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar penebangan liar (illegal logging) , dan tindak pidana pembiaran terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas penebangan liar (illegal logging).

REKOMENDASI
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk menanggulangi kegiatan illegal logging adalah sebagai berikut :
1. Operasi hutan lestari dalam rangka menindak pelaku-pelaku illegal logging dan penyelundupan kayu harus dibarengi dengan upaya-upaya mengatasi penyebab dari terjadinya illegal logging itu sendiri.
2. Alternatif sistem pengelolaan hutan perlu dikembangkan dan diperluas, antara lain dengan sistem TPTI Intensif (TPTJ + Bina Pilih)
3. Dana Reboisasi (DR) harus dapat digunakan dalam rangka merehabilitasi dan membangun hutan-hutan di areal bekas tebangan TPTI, baik di lokasi yang dibebani hak maupun tidak, untuk meningkatkan produktivitas dari hutan alam itu sendiri.
4. Masyarakat perlu terlibat dan menerima manfaat ekonomi yang langsung dirasakan atas adanya kegiatan pengelolaan hutan secara lestari.
5. Sistim quota harus segera diganti dan dikembalikan kepada cara-cara perhitungan jatah produksi sesuai dengan kemampuan produksi lestari hutan itu sendiri, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam pengelolaan hutan lestari.
II. PENUTUP
Urgensi perlindungan hutan dalam perundang-undangan pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging), adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri. Baik fungsi ekologi, ekonomi maupun sosial-budaya yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta masyarakat secara nasional, tetapi juga masyarakat dalam konteks regional dan internasional.
Proses untuk menegakan hukum serta pelaksanaan sanksi merupakan bagian akhir dari penegakan hukum. Yang perlu ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan pelaksanaan peraturan. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian pelarangan dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan.

Pada zaman kolonial, pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnik Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna pembuatan kapal-kapal kayu yang industri perkapalannya berada di pantai utara Jawa dan industri perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam, serta pemenuhan kayu bakar untuk pabrik gula (Peluso, 1992).

Pada periode 1950 sampai dengan 1960-an kebijakan ekonomi nasional Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh gagasan-gagasan sosialis dan nasionalis daripada kapitalisme liberal. Namun demikian beberapa kebijakan ekonomi tersebut tidak pernah dilaksanakan karena berbagai pergolakan politik (Thee Kian Wie,2002). Pada periode ini, eksploitasi hutan tidak didominasi oleh pengusaha asing karena secara politik ekonomi, Pemerintah Indonesia anti penanaman modal asing dari Barat. Hanya saja konflik dan pendudukan tanah untuk produksi pangan dengan masyarakat sudah terjadi sejak tahun 1940-an dan terus berlanjut sampai sekarang. Persengketaan tanah ini tidak pernah terpecahkan karena alasan-alasan politik (Mackie, 2002).

KERUSAKAN HUTAN DAN POLITIK EKONOMI

Kerusakan hutan (deforestasi dan degradasi) sudah menjadi fenomena umum dan terjadi di semua negara yang memiliki sumberdaya hutan. Hanya saja derajat kerusakannya berbeda-beda antar negara yang satu dengan negara lainnya. Tingkat kerusakan sangat ditentukan oleh bagaimana kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan sumberdaya hutan, khususnya kebijakan penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya (Pearce dan Brown, 1994).

Akibat kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut, pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan hutan (deforestasi) sebesar antara 600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun (World Bank, 1988a, 1988b; Scott, 1985). Selanjutnya Holmes menyebut kan bahwa pada periode 1985-1997, tingkat deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka diramalkan bahwa pada tahun 2005 hutan dataran rendah non rawa akan hilang di Sumatera, dan diKalimantan akan hilang pada tahun 2010 (FWI/GFW, 2001). Menurut data dari Departemen Kehutanan, laju deforestasi nasional dalam 10 tahun terakhir telah mencapai rata-rata 1,6 juta ha per tahun. Penyebab deforestasi tersebut selain dari melanjutkan kerja-kerja eksploitasi HPH seperti pada rezim Orde baru, juga ditambah dengan maraknya kegiatan penebangan haram (illegal logging) sejak tahun 1999, pembukaan lahan untuk usaha tani perkebunan rakyat dan perkebunan swasta, kebakaran hutan, dan perebutan kekuasaan atas lahan hutan antara perusahaan HPH dengan masyarakat adat (Awang, 2003;2006; Wrangham, 2003). Deforestasi pada pemerintahan Orde Baru dinilai banyak pihak paling besar dan paling serius. Pemerintahan Orde Baru telah gagal melaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Awang, 2006).

Ciri pembangunan ekonomi pemerintahan Orde Baru tahun 1967-1997 ditandai dengan menguatnya relasi antara kekuasaan politik dan ekonomi. Devisa pemerintah Indonesia dari sektor kehutanan menjadi sumber penting untuk mendorong gerak maju pembangunan bangsa. Pada saat yang sama perolehan dana dari hutan ini menjadi sumber penting bagi oknum-oknum elit militer, penguasa, dan partai politik. Seperti yang dikatakan oleh Thee Kian Wie (2002), bahwa di penghujung tahun 1965 tidak pernah ada yang berpikir bahwa anti investasi barat di era Orde Lama, justru berbalik menjadi sangat pro barat pada awal pemerintahan Orde Baru. Hutan alam tropis di luar jawa mulai diusahakan oleh pihak swasta sejak dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing, dan Dalam Negeri tahun 1967 dan 1968. Kedua UU tersebut merupakan pintu masuk awal dimulainya konsesi hutan oleh pihak swasta secara penuh (Awang,1991; Potter, 2002; Sadli,1987).

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pembangunan sumberdaya hutan tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan ekonomi secara nasional. Pemerintah Orde Baru belajar dari pengalaman masa Orde Lama, di mana anti terhadap investasi dan penanaman modal asing tidak juga memberikan perbaikan ekonomi secara nasional. Pergeseran politik ekonomi dari anti investasi atau anti liberalisme, kemudian menjadi memaksimalkan investasi untuk mengusahakan semua potensi sumberdaya alam yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan sekaligus memperbaiki ekonomi bangsa dan masyarakat secara keseluruhan. Disadari sepenuhnya oleh pemikir ekonomi politik Orde Baru bahwa setelah rezim Orde Lama tumbang, tantangan membangun ekonomi bangsa sangatlah sulit karena warisan dari Orde Lama adalah inflasi mencapai 650%, kesukaran ekonomi demikian besar dan gawat, sehingga diperlukan perumusan resep-resep ekonomi baru dan melaksanakannya (Sadli, 1987; Mubyarto, 1987).

Hal yang paling merisaukan dari tindakan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan tersebut adalah dampak dari pengrusakan hutan yang tidak terkendali telah menyebabkan berbagai macam bencana sosial seperti banjir, kemarau, dan kemiskinan masyarakat, karena hutan dikuasai oleh pihak swasta, dan konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat tidak terelakkan (FWI/GFW, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Hardjosoemantri K, 1926, Hukum Tata Lingkungan edisi ke-17 cetakan ke-7, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta.
Koeswaji, H.H., 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Cet. 1,Citra Aditya Bhakti : Bandung.
Marpaung, L., 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Cet.1 Erlangga : Jakarta.
Mangunwijaya, F.M., 2006, Hidup Harmonis dengan Alam, edisi 1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Salim, H.S.,2003, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Cet. 1, Sinar Grafika: Jakarta.
Silalahi, D., 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. 1, Edisi ketiga, Alumni : Bandung.


3 Komentar::

Anonim mengatakan...

thanks..... tulisan ini sangat berharga bagi saya yang sedang mencari data ttg tulisan ini. se x lg makacih yaaaah...........

Rinda mengatakan...

Thx bgt lho tulisannya,helping bgt bwt tugas soshuk,thx ya :)

BhestMilla SC mengatakan...

iya..sm sm tmn tmn..

Posting Komentar

♥♥♥Eit..Eit..kayanya pengunjung mau kirim komentar nih tentang bacaan barusan..ya dah..NAME/URL juga boleh kok..Makasih yah.. ♥♥♥