;
headline photo

UUD TENTANG PENGADILAN PAJAK

Minggu, 21 Februari 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI
NOMOR 14 TAHUN 2002

TENTANG
PENGADILAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa
yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum
yang sama bagi warga masyarakat;



.
b bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang berkesinambungan
dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai
terutama dari sumber perpajakan;

c. bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan
kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak
dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil
dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana;

d. bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang
berpuncak di Mahkamah Agung;

e. bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, tersebut di atas
perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Pajak;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23A, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar
1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang- Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);

3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3985);

5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);

6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3569);

7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);

8. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);

9. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613);

10. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4048);

11. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3987);

12. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN PAJAK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Pengertian
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pejabat yang berwenang adalah Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan
Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea
Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Peraturan perundang-undangan perpajakan adalah semua peraturan di bidang
perpajakan.

4. Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan
dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

5. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.

6. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung
Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakaan yang berlaku.

7. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat
diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

8. Surat Uraian Banding adalah surat terbanding kepada Pengadilan Pajak yang berisi
jawaban atas alasan Banding yang diajukan oleh pemohon Banding.

9. Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi
jawaban atas Gugatan yang diajukan oleh penggugat.

10. Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Banding atau penggugat kepada Pengadilan
Pajak yang berisi bantahan atas surat uraian Banding atau Surat Tanggapan.

11. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal
disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan
disampaikan secara langsung.

12. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam
hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan
diterima secara langsung.

13. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan
Pajak.

14. Hakim Tunggal adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua untuk memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak dengan acara cepat.

15. Hakim Anggota adalah Hakim dalam suatu Majelis yang ditunjuk oleh Ketua untuk menjadi
anggota dalam Majelis.

16. Hakim Ketua adalah Hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua untuk memimpin sidang.

17. Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti adalah Sekretaris, Wakil
Sekkretaris, dan Sekretaris Pengganti pada Pengadilan Pajak .

18. Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti adalah Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan
Sekretaris Pengganti Pengadilan Pajak yang melaksanakan fungsi kepaniteraan.

19. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Bagian Kedua

Kedudukan

Pasal 2

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

Bagian Ketiga

Tempat Kedudukan

Pasal 3

Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara.

Pasal 4

(1) Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila dipandang
perlu dapat dilakukan di tempat lain.

(2) Tempat sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Ketua.

Bagian Keempat
Pembinaan

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
oleh Departemen Keuangan.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi
kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

BAB II

SUSUNAN PENGADILAN PAJAK

Bagian Pertama
Umum

Pasal 6

Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera.

Pasal 7

Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan paling banyak 5 (lima) orang Wakil

Ketua.

Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

Pasal 8

(1) Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri
setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri
setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

(3) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman di bidang Sengketa Pajak.

Pasal 9

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim, setiap calon harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. berumur paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun;

c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau
terlibat organisasi terlarang;

f. mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana

lain;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan

i. sehat jasmani dan rohani.

(2) Dalam memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu yang memerlukan
keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota.

(3) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kecuali huruf b dan huruf f.

(4) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f tidak berlaku bagi
Hakim Ad Hoc.

(5) Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 10

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim harus bersumpah atau
berjanji menurut agamanya atau kepercayaannya, yang berbunyi sebagai berikut:
" Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau
cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa
pun juga."
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapa pun juga suatu janji atau pemberian."
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan ideologi
negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang yang berlaku bagi
Negara Republik Indonesia."
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama, dan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan
kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Pajak yang berbudi baik dan jujur
dalam menegakkan hukum dan keadilan."

(2) Ketua dan Wakil Ketua mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Ketua Mahkamah

Agung.

(3) Hakim mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Ketua.

Pasal 11

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Ketua melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
perilaku Wakil Ketua, Hakim, dan Sekretaris/Panitera.

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

Pasal 12

(1) Hakim tidak boleh merangkap menjadi:

a. pelaksana putusan Pengadilan Pajak;

b. wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu Sengketa Pajak yang
akan atau sedang diperiksa olehnya;

c. penasehat hukum;

d. konsultan Pajak;

e. akuntan publik; dan/atau

f. pengusaha.

(2) Selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jabatan lain yang tidak boleh
dirangkap oleh Hakim diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung
karena :

a. permintaan sendiri;

b. sakit jasmani dan rohani terus menerus;

c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.

(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung
karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.

(3) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia, dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya dengan Keputusan Presiden.

Pasal 14

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan
alasan:

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;

d. melanggar sumpah/janji jabatan; atau

e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

Pasal 15

Usul pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d
dan usul pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

Bagian Ketiga
Majelis Kehormatan Hakim

Pasal 16

(1) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara
pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri.

(2) Majelis Kehormatan Hakim bertugas:

1. meneliti dan meminta keterangan Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim yang diusulkan

untuk:

a. diberhentikan dengan hormat berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13;

b. diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14.

2. mengusulkan pemberhentian sementara dari jabatan Ketua, Wakil Ketua, atau
Hakim karena diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat.

Bagian Keempat
Pemberhentian Sementara Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

Pasal 17
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat,
diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.

(2) Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan dari statusnya sebagai pegawai negeri.

Pasal 18

(1) Apabila terhadap Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dikeluarkan surat perintah
penangkapan yang diikuti dengan penahanan, Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim
dimaksud diberhentikan sementara terlebih dahulu dari jabatannya.
(2) Apabila Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dituntut di muka pengadilan dalam perkara
pidana tanpa ditahan, Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dimaksud diberhentikan
sementara dari jabatannya.

Pasal 19

(1) Apabila dalam pemeriksaan terhadap Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim yang telah
ditangkap dan ditahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ternyata tidak
terbukti melakukan tindak pidana, Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dimaksud
dikembalikan ke jabatan semula.

(2) Apabila tuntutan pidana terhadap Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dimaksud
dikembalikan ke jabatan semula.

Pasal 20

(1) Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dapat ditangkap dan/atau ditahan hanya atas perintah
Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau

b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam harus sudah
dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 21

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara, pemberhentian dengan
hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim serta hak-
haknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Protokoler dan Tunjangan

Pasal 22

(1) Kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

(2) Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil
Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keenam
Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti

Pasal 23

Sekretaris memimpin sekretariat yang mempunyai tugas pelayanan di bidang administrasi
umum, dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Pasal 24

Sebelum memangku jabatan, Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti wajib diambil
sumpah atau janjinya oleh Ketua menurut agama atau kepercayaannya yang berbunyi
sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji :
" bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti akan
setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, negara, dan
Pemerintah";
" bahwa saya akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab";
" bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan
martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, serta akan senantiasa
mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau
golongan";
" bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah
harus saya rahasiakan";
" bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
negara".

Pasal 25

(1) Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan
Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan.

(2) Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti dapat merangkap tugas-tugas

kepaniteraan.

Pasal 26

Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

d. sehat jasmani dan rohani; dan

e. berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain dan mempunyai pengetahuan di bidang

perpajakan.

Pasal 27
Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan

Menteri.

Pasal 28

(1) Tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi kesekretariatan Pengadilan Pajak
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(3) Tata Tertib persidangan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Ketua.

Bagian Ketujuh
Panitera

Pasal 29

(1) Pada Pengadilan Pajak ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang

Panitera.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Pengadilan Pajak dibantu oleh seorang Wakil
Panitera dan beberapa orang Panitera Pengganti.

(3) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan Undang-undang, Panitera, Wakil
Panitera, dan Panitera Pengganti tidak boleh merangkap menjadi:

a. pelaksana putusan Pengadilan Pajak;

b. wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu Sengketa Pajak yang
akan atau sedang diperiksa olehnya;

c. penasehat hukum;

d. konsultan Pajak;

e. akuntan publik; dan/atau

f. pengusaha.

(4) Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari

jabatannya oleh Menteri.

(5) Pembinaan teknis Panitera dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pasal 30

Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti harus
bersumpah atau berjanji menurut agama atau kepercayaannya, yang berbunyi sebagai
berikut :

" Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun";
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa
pun juga suatu janji atau pemberian";
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi
nasional, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain
yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia";
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-seadilnya, seperti
layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

BAB III

KEKUASAAN PENGADILAN PAJAK

Pasal 31

(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus

Sengketa Pajak.

(2) Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

(3) Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 32

(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak
mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang
bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Ketua.

Pasal 33

(1) Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

(2) Untuk keperluan pemeriksaan Sengketa Pajak, Pengadilan Pajak dapat memanggil
atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa Pajak dari pihak
ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV

HUKUM ACARA

Bagian Pertama
Kuasa Hukum

Pasal 34
(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu
atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus.

(2) Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia;

b. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-

undangan perpajakan;

c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

(3) Dalam hal kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili pemohon Banding atau
penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua,
pegawai, atau pengampu, persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
diperlukan.

Bagian Kedua
Banding

Pasal 35

(1) Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan

Pajak.

(2) Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan
yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon
Banding.

Pasal 36

(1) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

(2) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal
diterima surat keputusan yang dibanding.

(3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.

(4) Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang
terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah
dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Pasal 37

(1) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau

kuasa hukumnya.

(2) Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya
dalam hal pemohon Banding pailit.

(3) Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat
dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Pasal 38

Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang
berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2).

Pasal 39

(1) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan

Pajak.

(2) Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihapus dari daftar

sengketa dengan :

a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang

dilaksanakan;

b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.

(3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), tidak dapat diajukan kembali.

Bagian Ketiga
Gugatan

Pasal 40

(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.

(2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak
adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.

(3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterima Keputusan yang digugat.

(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak mengikat
apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
penggugat.

(5) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah 14 (empat
belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.

(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu)
Surat Gugatan.

Pasal 41

(1) Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima,
pelaksanaan penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen
yang digugat.

(2) Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia, Gugatan dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya
dalam hal penggugat pailit.

(3) Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh
pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Pasal 42

(1) Terhadap Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dapat diajukan
surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.

(2) Gugatan yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihapus dari daftar

sengketa dengan :

a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang;

b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat.

(3) Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 43

(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau
kewajiban perpajakan.

(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunda selama pemeriksaan Sengketa
Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam
Gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.

(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikabulkan
hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang
digugat itu dilaksanakan.

Bagian Keempat
Persiapan Persidangan

Pasal 44

(1) Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan atas Surat
Banding atau Surat Gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Banding atau Surat Gugatan.

(2) Dalam hal pemohon Banding mengirimkan surat atau dokumen susulan kepada
Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, jangka waktu 14 (empat
belas) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung sejak tanggal diterima surat
atau dokumen susulan dimaksud.

Pasal 45

(1) Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dalam jangka waktu:

a. 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian Banding; atau

b. 1(satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan.

(2) Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) oleh Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon Banding atau penggugat dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima.
(3) Pemohon Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat Bantahan kepada
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima salinan
Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Salinan Surat Bantahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikirimkan kepada
terbanding atau tergugat, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
diterima Surat Bantahan.

(5) Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding atau penggugat tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (3), Pengadilan
Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan Banding atau Gugatan.

Pasal 46

Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam
persidangan guna memberikan keterangan lisan.

Pasal 47

(1) Ketua menunjuk Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim atau Hakim Tunggal untuk
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

(2) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, Ketua menunjuk salah seorang Hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai Hakim Ketua yang memimpin
pemeriksaan Sengketa Pajak.

(3) Majelis atau Hakim Tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersidang pada hari
yang ditentukan dan memberitahukan hari sidang dimaksud kepada pihak yang
bersengketa.

Pasal 48

(1) Majelis/Hakim Tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sudah mulai bersidang
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Banding.
(2) Dalam hal Gugatan, Majelis/Hakim Tunggal sudah memulai sidang dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Surat Gugatan.

Bagian Kelima
Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Pasal 49

Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis.

Pasal 50

(1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum.

(2) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis melakukan pemeriksaan
mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan Banding atau Gugatan.

(3) Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) sepanjang bukan merupakan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 40 ayat (1) dan/atau
ayat (6), kelengkapan dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam
persidangan.

Pasal 51

(1) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim
atau Panitera pada Majelis yang sama.

(2) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pemohon
Banding atau penggugat atau kuasa hukum.

(3) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah
diputus, putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud
segera disidangkan kembali dengan susunan Majelis dan/atau Panitera yang berbeda.

(4) Dalam hal hubungan keluarga sedarah, semenda, atau hubungan suami istri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diketahui sebelum melewati
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah sengketa diputus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), sengketa dimaksud disidangkan kembali dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diketahuinya hubungan dimaksud.

Pasal 52

(1) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pengganti wajib
mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila berkepentingan langsung atau tidak
langsung atas satu sengketa yang ditanganinya.

(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan atas
permintaan salah satu atau pihak-pihak yang bersengketa.

(3) Ketua berwenang menetapkan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
atau ayat (2) apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat.

(4) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diganti dan apabila tidak diganti atau
tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, putusan dimaksud tidak
sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan
susunan Majelis dan Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pengganti yang berbeda,
kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun.

(5) Dalam hal kepentingan langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diketahui sebelum melewati jangka waktu 1 (satu) tahun setelah sengketa
diputus sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), sengketa dimaksud disidangkan
kembali dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kepentingan
dimaksud.

Pasal 53
(1) Hakim Ketua memanggil terbanding atau tergugat dan dapat memanggil pemohon
Banding atau penggugat untuk memberikan keterangan lisan.

(2) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat memberitahukan akan hadir dalam
persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Hakim Ketua memberitahukan
tanggal dan hari sidang kepada pemohon Banding atau penggugat.

Pasal 54

(1) Hakim Ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak-pihak yang
bersengketa.

(2) Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat mengenai hal-hal yang
dikemukakan pemohon Banding atau penggugat dalam Surat Banding atau Surat
Gugatan dan dalam Surat Bantahan.

(3) Apabila Majelis memandang perlu dan dalam hal pemohon Banding atau penggugat
hadir dalam persidangan, Hakim Ketua dapat meminta pemohon Banding atau
penggugat untuk memberikan keterangan yang diperlukan dalam penyelesaian
Sengketa Pajak.

Pasal 55

(1) Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena jabatan, Hakim Ketua
dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan didengar keterangannya dalam
persidangan.

(2) Saksi yang diperintahkan oleh Hakim Ketua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib datang di persidangan dan tidak diwakilkan.

(3) Dalam hal saksi tidak datang meskipun telah dipanggil dengan patut dan Majelis dapat
mengambil putusan tanpa mendengar keterangan saksi, Hakim Ketua melanjutkan
persidangan.

(4) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun
telah dipanggil dengan patut, dan Majelis mempunyai alasan yang cukup untuk
menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, serta Majelis tidak dapat mengambil
putusan tanpa keterangan dari saksi dimaksud, Hakim Ketua dapat meminta bantuan
polisi untuk membawa saksi ke persidangan.

(5) Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang diminta oleh pihak yang
bersangkutan menjadi beban dari pihak yang meminta.

Pasal 56

(1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.

(2) Hakim Ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama, pekerjaan,
derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan pemohon Banding/penggugat
atau dengan terbanding/tergugat.

(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agama atau kepercayaannya.

Pasal 57

(1) Yang tidak boleh didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 adalah:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. Istri atau suami dari pemohon Banding atau penggugat meskipun sudah bercerai;
c. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; atau
d. Orang sakit ingatan.

(2) Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua dapat meminta pihak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c untuk didengar keterangannya.

Pasal 58

Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dapat menolak permintaan Hakim Ketua
untuk memberikan keterangan.

Pasal 59

Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib merahasiakan segala sesuatu
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatannya, untuk keperluan persidangan kewajiban
merahasiakan dimaksud ditiadakan.

Pasal 60

(1) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui
Hakim Ketua.

(2) Apabila pertanyaan dimaksud menurut pertimbangan Hakim Ketua tidak ada kaitannya
dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.
Pasal 61

(1) Apabila pemohon Banding atau penggugat atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia,
Hakim Ketua menunjuk ahli alih bahasa.

(2) Sebelum melaksanakan tugas mengalihbahasakan yang dipahami oleh pemohon
Banding atau penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ke dalam
Bahasa Indonesia dan sebaliknya, ahli alih bahasa dimaksud diambil sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya.

(3) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa
dalam sengketa dimaksud.

Pasal 62

(1) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi, ternyata bisu dan/atau tuli
serta tidak dapat menulis, Hakim Ketua menunjuk orang yang pandai bergaul dengan
pemohon Banding atau penggugat atau saksi, sebagai ahli alih bahasa.

(2) Sebelum melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepecayaannya.

(3) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi, ternyata bisu dan/atau tuli
tetapi dapat menulis, Hakim Ketua dapat memerintahkan Panitera menuliskan
pertanyaan atau teguran kepada pemohon Banding atau penggugat atau saksi, dan
memerintahkan menyampaikan tulisan itu kepada pemohon Banding atau penggugat
atau saksi dimaksud, agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan
jawaban harus dibacakan.

Pasal 63

(1) Saksi diambil sumpah atau janji dan didengar keterangannya dalam persidangan
dengan dihadiri oleh terbanding atau tergugat.

(2) Apabila terbanding atau tergugat telah dipanggil secara patut, tetapi tidak dapat datang
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, saksi diambil sumpah atau janji
dan didengar keterangannya tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat.

(3) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan
yang dapat dibenarkan oleh hukum, Majelis dapat datang ke tempat tinggal saksi untuk
mengambil sumpah atau janji dan mendengar keterangan saksi dimaksud tanpa dihadiri
oleh terbanding atau tergugat.

Pasal 64

(1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu) hari persidangan,
pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya yang ditetapkan.

(2) Hari persidangan berikutnya diberitahukan kepada terbanding atau tergugat dan dapat
diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat.

(3) Dalam hal terbanding atau tergugat tidak hadir pada persidangan tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan, sekalipun ia telah diberi tahu secara patut, persidangan
dapat dilanjutkan tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat.

Bagian Keenam

Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Pasal 65

Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Pasal 66

(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:

a. Sengketa Pajak tertentu;

b. Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 81 ayat (2);

c. tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat
(1) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dalam putusan Pengadilan
Pajak;

d. sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang

Pengadilan Pajak.

(2) Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah
Sengketa Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan
ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6).

Pasal 67

Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (1) dilakukan tanpa Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan tanpa
Surat Bantahan.

Pasal 68

Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga untuk
pemeriksaan dengan acara cepat.

Bagian Ketujuh
Pembuktian

Pasal 69

(1) Alat bukti dapat berupa:

a. surat atau tulisan;

b. keterangan ahli;

c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak; dan/atau

e. pengetahuan Hakim

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Pasal 70

Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :

a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum didalamnya;
b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang;
d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada
kaitannya dengan Banding atau Gugatan.

Pasal 71

(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

(2) Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 ayat (1) tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Pasal 72

(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya,
Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli.

(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan,
yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut
pengalaman dan pengetahuannya.

Pasal 73

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.

Pasal 74

Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan
dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Pasal 75

Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Pasal 76

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).

Bagian Kedelapan

Putusan

Pasal 77

(1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.

(2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).

(3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan
Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Pasal 78

Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim.

Pasal 79

(1) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim
Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan
diambil dengan suara terbanyak.

(2) Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat
dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat
Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan
Pengadilan Pajak.

Pasal 80

(1) Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:

a. menolak;

b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;

c. menambah Pajak yang harus dibayar;

d. tidak dapat diterima;
e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau

f. membatalkan.

(2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan
Gugatan, Banding, atau kasasi.

Pasal 81

(1) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.

(2) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima.

(3) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

(5) Dalam hal Gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan Pajak,
tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengadilan
Pajak wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan dimaksud dilampaui.

Pasal 82

(1) Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dinyatakan tidak dapat diterima,
diambil dalam jangka waktu sebagai berikut :

a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui;

b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah
batas waktu pengajuan dilampaui.

(2) Putusan/penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c berupa membetulkan kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung,
diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui
atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.

(3) Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum
bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (1) huruf d, berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak Surat Banding atau Surat Gugatan diterima.

(4) Dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), pemohon Banding atau penggugat dapat mengajukan
Gugatan kepada peradilan yang berwenang.

Pasal 83

(1) Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), putusan
Pengadilan Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan karena itu
putusan dimaksud harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 84

(1) Putusan Pengadilan Pajak harus memuat :

a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA";

b. nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya dari
pemohon Banding atau penggugat;

c. nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;

d. hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan;

e. ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan, atau Surat Bantahan, yang jelas;
f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa;
g. pokok sengketa;
h. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
i. amar putusan tentang sengketa; dan
j. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, dan keterangan
tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa
dimaksud segera disidangkan kembali dengan acara cepat, kecuali putusan dimaksud
telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun.

(3) Ringkasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e tidak diperlukan dalam hal
putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c, huruf d, dan Pasal 66 ayat (2).

(4) Putusan Pengadilan Pajak harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan
Panitera.
(5) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal yang menyidangkan berhalangan
menandatangani, putusan ditandatangani oleh Ketua dengan menyatakan alasan
berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim Tunggal.
(6) Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani, putusan ditandatangani oleh
Hakim Ketua dengan menyatakan alasan berhalangannya Hakim Anggota dimaksud.

Pasal 85

(1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat Berita Acara Sidang yang memuat
segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan.

(2) Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera
dan apabila salah seorang dari mereka berhalangan, alasan berhalangannya itu
dinyatakan dalam Berita Acara Sidang.

(3) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera berhalangan menandatangani,
Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Ketua bersama salah seorang Panitera
dengan menyatakan alasan berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan
Panitera.

Bagian Kesembilan

Pelaksanaan Putusan

Pasal 86
Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi
keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

Pasal 87

Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan
pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 88

(1) Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para
pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak tanggal putusan sela diucapkan.

(2) Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.

(3) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
kepegawaian yang berlaku.

Bagian Kesepuluh

Pemeriksaan Peninjauan Kembali

Pasal 89

(1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3)
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.

(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan Pengadilan Pajak.

(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah
dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

Pasal 90

Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-
undang ini.

Pasal 91

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai

berikut:

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang
berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut,
kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c;
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92

(1) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan
Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya
harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

(3) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.

Pasal 93

(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan
ketentuan:
a. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
b. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
(2) Putusan atas permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 94

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku:

1. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1997, menjadi Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang ini.
2. Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang ini adalah kelanjutan dari Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
3. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
pada Pengadilan Pajak.
4. Sekretaris Sidang pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi Panitera pada
Pengadilan Pajak.
5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dapat
menyelesaikan tugas sampai akhir masa jabatannya.
6. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini susunan
organisasi, tugas, dan wewenangnya disesuaikan dengan Undang-undang ini.

Pasal 95

(1) Banding atau Gugatan yang diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan
belum diputus, dalam hal:
a. tenggang waktu pengajuan Banding/Gugatannya telah berakhir sebelum
berlakunya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pajak
berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997;
b. tenggang waktu pengajuan Banding/Gugatannya belum berakhir pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-undang
ini.
(2) Perkara Sengketa Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
dapat diajukan peninjauan kembali berdasarkan Undang-undang ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 96

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 97

Undang-undang ini dinamakan Undang-undang Pengadilan Pajak.

Pasal 98

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 12 April 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI



0 Komentar::

Posting Komentar

♥♥♥Eit..Eit..kayanya pengunjung mau kirim komentar nih tentang bacaan barusan..ya dah..NAME/URL juga boleh kok..Makasih yah.. ♥♥♥