;
headline photo

karya sastra

Sabtu, 19 Desember 2009

Melalui karya sastra, kita bakal melintasi panorama sejarah secara kritis. Bahkan, lantaran kecakapan sang pujangga meruwat fakta sejarah, sastra mampu menyuguhkan sejarah yang menyentil emosi serta menggugah kesadaran penikmatnya akan keunikan pojok sejarah –meminjam istilah Emha Ainun Najib (Cak Nun)– yang kadang tidak kita insafi.Misalnya, puisi karya pujangga Ronggowarsita (1802-1874) yang berjudul Serat Kalatida. Puisi tersebut mengisahkan masa komersialisasi tanah-tanah di Keraton Surakarta dan Mangkunegaran, yang anehnya dilakukan oleh kerabat keraton sendiri. Selain itu,Ronggowarsita dalam Serat Kalatida juga mengajukan protes sosial terhadap masuknya kapitalisme yang menyergap kraton Kejawen (Surakarta, Mangkunegaran dan Yogyakarta).Pada era kolonial Belanda,kita dibuat takjub akan kritik sosial sekaligus politik yang dibawa novel Max Havelaar karya Multatuli (1960).Novel ini mengisahkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat Indonesia, lantaran kebijakan tanam-paksa yang dikeluarkan. Dalam novel tersebut, rakyat kita digambarkan hidup enggan mati tak mau. Kemiskinan terjadi di manamana.Akibatnya, timbul protes di kalangan pribumi maupun dari pegawai Belanda sendiri menuntut upaya balas budi (politik etis). Novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa k a r y a Pramudya Ananta Toer, merupakan sastra sejarah yang sangat lengkap.Dalam novel tersebut, Pram berhasil menyuguhkan kurun sejarah, hubungan antarmanusianya, perubahan-perubahan sosial pada peralihan abad 20.Demikian halnya novel-novel karya Abdoel Moeis, Surapati dan Robert anak Surapati, atau Tjoet Nja Din –buku yang diterjemahkannya dari bahasa Belanda karangan M.H. Szikely-Lolufs.Meminjam istilah Henry James (1951), cukuplah bagi sejarah dalam bentuk sastra bila berhasil menyuguhkan hal-hal sejarah dalam bentuk gambaran yang koherensi. Selain itu, ada beberapa keuntungan bagi sastrawan dalam merekonstruksikan peristiwa sejarah melalui karya sastra, di antaranya: pertama, peristiwa sejarah dapat menjadi bahan baku tanpa perlu pertanggungjawaban terlebih dahulu.Kedua,peristiwanya,situasi,kejadian, cukup diambil dari khazanah accepted history-nya bagi hal-hal masa lampau, atau dari common sense bagi peristiwa kontemporer. Prosedur kritik, interpretasi dan sintesis tidak diperlukan sastra sebagaimana sejarawan. Ketiga, jika tulisan sejarah keterbatasannya terletak pada objeknya yang mengaktual di masa lampau dan menutup diri di balik waktu.Sebaliknya dalam sastra, objek justru terletak dalam jangkauan waktu, praktis tanpa pembatasan-pembatasan intelektual dan material. Pelaku dan kejadian dalam sastra bisa saja semuanya imajiner, sementara penulis hanya mempertanggungjawabkan pekerjaan cerita. Pertanggungjawaban kebebasan pengarang sastra sejarah semata-mata hanya terletak pada kejujurannya.Meski sastra sejarah tetap sebagai sebuah karya imajiner, tidak lantas kita meragukan kadar kebenaran atau validitas sejarahnya. Untuk mengukur kadar validitas sejarah sebuah karya sastra, menurut Kuntowijoyo ada beberapa unsur yang mesti dimiliki sebuah karya sastra, di antaranya: pertama, unsur historical authenticy (keaslian sejarah).Unsur ini merupakan kualitas dari kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati,dan sebagainya,atau yang khas dari suatu zaman dalam sebuah karya sastra. Kedua, unsur historical faithfulness (kesetiaansejarah). Unsur ini merupakan keharusan-keharusan sejarah yang didasarkan pada basis sosial ekonomi rakyat yang sesungguhnya.Misalnya kisah tragedi Roro Mendut.Kisah tersebut menggambarkan tragedi akibat “keharusan sejarah” dalam sistem birokrasi patrimonial Mataram, sistem alokasi kekuasaan d a n perang tradisional. Dan ketiga, unsur local colour atau diskripsi yang setia tentang keadaan-keadaan fisik,tata cara, peralatan dan sebagainya yang membantu memudahkan penghayatan sejarah.
Meski sejarawan J Huizinga (1959) sempat berkomentar miring bahwa sastra sejarah tetap tidak mampu menggantikan tulisan sejarah, tetapi setidaknya nilainilai kebenaran yang diusung karya sastra tetap merupakan keunggulan tersendiri yang independen, tanpa bakalan terpengaruh pada hegemoni penguasa.Sudah saatnya ada langkah kreatif dari para sejarawan dan sastrawan untuk berkolaborasi, dan saling bahu membahu dalam menyuguhkan sejarah yang sejati. Melalui sejarah yang autentik, generasi muda bisa belajar guna menata peradaban dan bangsa ini menjadi jauh lebih baik.(*)Sebelumnya penulis ingin mengutarakan sedikit tentang sastra sejarah, sastra sejarah mengandung dua unsur pemaknaan yang pertama dalam sastra mengandung sebuah karya teks tentang imajinasi dari seorang penulis yang di tuangkan dalam sebuah karya dan sebuah daya khayal dari seorang penulis yang mana sebuah karya akan menghasilkan karya yang berbeda pula jika karya tersebut di tulis dengan orang yang berbeda, karena setiap orang mempunyai imajinasi dan daya khayal yang juga berbeda.Yang kedua adalah mengandung nilai sejarah, yang mana sejarah adalah kejadian di masa lampau dan di masa sebelumnya, atau sebuah tragedi dan kejadian yang biasanya di amini oleh masyarakat.Pramoedya Ananta Toer juga bisa dicatat sebagai sastrawan yang mampu melampirkan teks-teks sejarah ke dalam teks-teks sastra. Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia adalah contoh penting di mana bahasa mampu berfungsi dalam mendefinisikan kehidupan dirinya dalam dua dunia; sastra dan sejarah.
Ternyata jawaban untuk konteks sastra sejarah terletak pada kemampuan mengelola bahasa dan pikiran yang selalu berdiri dalam dua petak yang berbeda. Fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Pada titik inilah sebagian sastrawan Indonesia yang menulis fiksi yang bersandar pada realitas sejarah tak cukup cermat mengawinkan kedua faktor penting itu.


0 Komentar::

Posting Komentar

♥♥♥Eit..Eit..kayanya pengunjung mau kirim komentar nih tentang bacaan barusan..ya dah..NAME/URL juga boleh kok..Makasih yah.. ♥♥♥