;
headline photo

MASIH RELEVANKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

Jumat, 25 Desember 2009

Catatan Peringatan Hari Lahir Pancasila
(Rudy Handoko)

Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi semangat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.

Namun, sayangnya, di zaman yang lalu, ideologi Pancasila dengan sengaja mengalami disorientasi dan degradasi nilai, yang mana proses penanaman nilai-nilai murni dan luhurnya hanya menjadi sebuah rekayasa politik untuk menciptakan sebuah kesadaran palsu yang berguna untuk mengamankan kekuasaan. Kenaifan yang dilakukan ini, oleh David E. Apter karena “ideologi mencakup lebih dari sekadar doktrin. Ia mengaitkan tindakan-tindakan yang khas dan praktek-praktek duniawi dengan sejumlah makna yang lebih luas, yang memberi penampakkan tingkah laku sosial lebih dihormati dan dihargai. Tentu saja, ini merupakan pandangan umum. Dari sudut pandang lain, ideologi adalah selubung bagi keinginan dan penampakan yang sesungguhnya busuk.”Sedangkan Gramsci menjelaskan, bahwa ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari berhasil atau tidaknya dia menjadi suatu kontrak sosial yang mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu entitas dalam hal ini bernama negara dan bangsa. Untuk kasus Pancasila, peranannya sebagai elemen fundamental dalam proses integrasi sosial yang tidak artifisial masih punya potensi yang kuat. Artinya, dalam keadaan negara kita terancam disintegrasi, kita masih bisa berharap ideologi Pancasila akan efektif untuk menjadi perekat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Paling tidak, kita berharap masih bisa berusaha menjadikannya sebagai modal sosial yang masih di-amini oleh sebagian besar rakyat untuk mengatasi berbagai konflik atau kemacetan bangsa, melalui apa yang disebut ideologi sebagai solusi yang disepakati bersama.

Ideologi Pancasila dan Tantangan Dunia
Tantangan bagi suatu ideologi apalagi seperti Pancasila yang indigenous milik Indonesia, adalah apakah Pancasila masih relevan menghadapi gelombang globalisasi dan demokratisasi yang nyaris melintasi segala tapal batas geografis dan demografis suatu komunitas sosial? Pertanyaan tentang relevansi ideologi dalam dunia yang berubah dinamis, muncul dengan mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa berupa kerangka nasionalisme tertentu dari masing-masing negara-bangsa, maupun dalam tataran ideologi-ideologi besar dunia yang pernah muncul dan berjaya.
Dus…kita menyaksikan, gelombang demokrasi yang berlangsung telah mengakibatkan runtuhnya rezim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, membuat ideologi itu seolah-olah tidak relevan. Sehingga Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history”, dan menetapkan satu-satunya ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat. Ternyata ideologi liberalisme-kapitalisme Barat yang muncul sebagai pemenang sampai saat ini tampil dominan dan mempengaruhi banyak komunitas sosial dan bahkan muncul sebagai kekuatan penindas baru yang hegemonik.Gelombang demokratisasi yang digaungkannya diselipi dengan pemaksaan globalisasi yang nyaris memangkas habis ideologi lainnya dan seakan-akan membuat ideologi lain makin tidak relevan dalam dunia.
Globalisasi yang mengandung cacat bawaan dengan berbagai absurditas dan kontradiksi, memang berhasil menyingkirkan banyak ideologi-baik universal maupun lokal. Akan tetapi globalisasi mendorong pula bangkitnya nasionalisme lokal yang sempat terkubur, bahkan dalam bentuknya yang sarkastik, yakni semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism. Nah, hal inilah pula yang juga melanda Indonesia ketika diterpa krisis moneter, ekonomi, dan politik sampai runtuhnya orde baru yang memunculkan euphoria masyarakat karena memang selama ini selalu diam dan tertindas. Juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis dan common platform bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah-olah semakin kehilangan relevansinya.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan dipaksakan oleh rezim yang memerintah negeri ini di masa lalu dalam memperlakukan Pancasila ternyata memang memberikan kontribusi terhadap resisten-nya Pancasila pasca reformasi. Pancasila dicemari karena kebijakan rezim yang hanya menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Dominasi dan hegemonisasi interpretasi dan pemahaman Pancasila yang dilakukan meninggalkan benih resistensi itu. Apalagi ketika Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bukan dimaknai sebagai atau coba dihayati dengan arif sebagai asas bersama. Model-model seragamisasi itu amat menyakitkan, sehingga ketika terjadi keterbukaan sosial-politik yang selama ini dikekang, membuat euphoria itu muncul tak terkontrol dan menafikan Pancasila, karena selama ini Pancasila tidak ditanamkan melalui proses pencerahan fajar budi dan pembelajaran-penyadaran tapi lewat uniformitas dan represifitas itu tadi. Euphoria ini, memberikan peluang bagi penerimaan atas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama dan sektarianisme lainnya. Pancasila jadinya cenderung tidak laku menjadi common platform dalam kehidupan politik. Hal ini kemudian diperparah dengan arus sektarianisme dan primordialisme yang meningkat menuju local-nationalism yang bisa menggiring kearah ethno-nationalism, seiring desentralisasi.
Secara an sich tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru selama ini adalah buah kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang universal, yang pada dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-Tuhan sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, indahnya kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan mendahulukan atau pro-kerakyatan dan hikmah serta mendeklarasikan pula penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan yang egalitarian. Nilai-nilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas sosial bersama.

Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik saat ini, ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa sih yang mampu menjatidirikan negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme dan kapitalisme global. Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral. Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan, toh tak ada yang salah. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa…sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi. Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak.
Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti menjamin adanya persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang. Pancasila dalam Konteks Sosial Politik
Akhir-akhir ini diskusi tentang kebhinekaan pun menjadi semakin asyik, karena sedang terjadi ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai masalah terutama tentang pluralisme dan kebijakan yang berkenaan atau menyentil rasa kebhinekaan. Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya, dan konsistensi menjadikan Pancasila sebagai falsafah/ideologi Negara, telah mengemuka di ruang publik. Pro dan kontra di ikuti dengan ketegangan-ketegangan malah show of force semakin sering terjadi. Ada yang merasa benar, ada yang merasa unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang merasa terancam.
Seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwa…salah satu hal yang menjadi kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai dan standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan dipaksakan untuk menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno dan tidak porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal. Bagi bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga memantik rasa ketidakadilan. Endingnya bisa muncul problem sektarianisme dan primordialisme sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila kembali harus dimunculkan sebagai suatu nilai yang sedapat mungkin masih diterima bersama selama Indonesia masih ada. Sesungguhnya Pancasila masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang meletakkan seluruh kepentingan pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang utama bagi eksistensi Indonesia. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang teramat rentan, nilai-nilai multikulturalisme yang ada pada Pancasila menjadi faktor penyelamat negara-bangsa. Sekarang…Pancasila seharusnya kembali menjadi suatu milik bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana bersama, pengembangan kembali
Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi pluralisme Indonesia.*
Bergerak dan Revolusi
Di daur ulang dari berbagai sumber oleh : HARY PR, ST.

Ada dua kelas yang berhadapan muka dalam kondisi tak terdamaikan di tengah masyarakat modern: kelas buruh dan kelas kapitalis. Kelas buruh tidak memiliki hak apapun atas alat-alat produksi dan, dengan demikian, harus menjual satu-satunya yang ada padanya, tenaga untuk bekerja, kepada kelas kapitalis, yang memiliki seluruh alat produksi yang ada. Selain kedua kelas itu, terdapat pula kelas pekerja yang lain, yang belum sepenuhnya kehilangan hak milik atas alat produksi, tapi juga tetap harus membanting tulang untuk penghidupannya: kelas petani, pedagang kecil dan artisan. Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain. Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya: proses produksi.
Kedudukan yang mengambang itu membuat mahasiswa menjadi sasaran empuk bagi semua pihak yang memiliki kepentingan kelas. Khususnya mereka yang berada di pihak borjuasi. Ini adalah konsekuensi logis dari sistem pendidikan di bawah sistem masyarakat borjuasi : kaum borjuasilah yang membiayai sekolah-sekolah. Pada awalnya, sekolah-sekolah hanya menerima anak-anak kelas berkuasa. Sekolah dipergunakan untuk mencetak kader-kader penerus kelas berkuasa - seperti terlihat pada sekolah-sekolah di bawah sistem feudal yang hanya dihadiri oleh pangeran-pangeran atau calon abdi istana. Sekolah calon abdi, seperti namanya, tentulah diarahkan untuk mempersiapkan orang-orang yang akan mengabdi pada kaum feudal itu. Sekolah-sekolah borjuasi dibuka untuk umum tapi biayanya mahal sehingga hanya anak-anak orang kaya (yaitu, anak-anak borjuasi atau feudal) yang dapat bersekolah di situ. Barulah setelah kaum buruh melakukan perlawanan hebat sekolah-sekolah ini dibuka untuk umum dengan biaya murah. Salah satu perlawanan yang terhebat berlangsung di Inggris, di mana ratusan ribu buruh di bawah bendera gerakan Chartist di akhir abad kedelapan belas melancarkan tuntutan untuk hak pilih umum (universal suffrage) dan pendidikan murah untuk semua.
Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan mahasiswa kian ramai. Salah satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas": memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi itu, anak-anak kelas pekerja akan mau mengkhianati kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kelas pekerja. Mereka menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat. Di pihak lain, kaum mahasiswa pro gerakan sosialis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kelas pekerja dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kelas pekerja, terutama kelas buruh. Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat pekerja ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan kelas pekerja yang revolusioner.
Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kelas pekerja ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kelas pekerja merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Pertarungan ideologis di sektor mahasiswa
Pertempuran yang terjadi untuk memperebutkan keberpihakan sektor mahasiswa ini sesungguhnya tidak berjalan seimbang. Di satu pihak, kaum borjuasi, karena menguasai negara, menguasai pula segala alat yang dipergunakan untuk mengadakan pendidikan. Di pihak
lain, kaum sosialis hanya bermodalkan semangat dan dukungan organisasi untuk merebut alat-alat pendidikan itu bagi kepentingan kemenangan rakyat tertindas. Kaum borjuasi memiliki segala-galanya. Sejak seseorang menginjakkan kakinya pertama kali di sekolahnya yang pertama, ia sudah diajari bahwa segala yang berbau sosialis adalah jelek. Setelah ia beranjak dewasa dan kesadaran kritisnya mulai muncul, dijejalkanlah segala macam penjelasan "ilmiah" dari kaum borjuasi untuk membenarkan keberadaannya di dunia ini. Sejak dari sistem berpikir, teori ekonomi, teori politik, filsafat, dsb. Bahkan sampai bagaimana tiap ilmu dipisah-pisahkan sedemikian rupa sehingga, tanpa pendalaman terhadap metode berpikir yang benar, yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah itu, seseorang tidak akan dapat merangkaikan kebenaran-kebenaran parsial yang terdapat di masing-masing ilmu menjadi satu kebenaran yang utuh. Tanpa metode berpikir yang benar, seseorang yang mempelajari filsafat tidak akan dapat menerima bahwa filsafat harus dapat menjelaskan pula gejala-gejala yang terkandung dalam ilmu-ilmu fisika, misalnya. Seseorang yang menggeluti politik atau hukum tidak akan pula dapat melihat bahwa pelajaran terpenting yang harus digugunya terdapat dalam ilmu arkeologi. Belu lagi para guru yang mengajar di sekolah-sekolah ini juga berasal dari sistem pendidikan guru yang dikendalikan oleh borjuasi. Dengan demikian, guru-guru ini juga menjadi pelayan sistem borjuasi itu sendiri. Lembaga keguruan merupakan satu lembaga yang berdiri di luar masyarakat, merupakan lembaga yang bersifat reguler (standing institution), dan digaji penuh untuk menjalankan tugas pelayanannya terhadap kepentingan borjuasi itu.
Pemahaman terhadap hal ini akan membuat kita sanggup melecehkan istilah industri pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai salah satu sektor industri jasa. Kita kini sudah melihat bahwa pendidikan adalah sebuah kelembagaan yang lebih bersifat ideologis daripada sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya. "Industri pendidikan" hanyalah sebuah alasan yang dikemukakan kaum borjuasi untuk memblokade masuknya anak-anak kelas pekerja ke dalam pendidikan ini. Pendidikan bagi anak-anak kelas pekerja ini, menurut kaum borjuasi, cukuplah di bidang-bidang teknik yang praktis agar dapat menjadi tenaga trampil di pabrik-pabrik. Supaya monopoli atas pengetahuan tetap terjaga, supaya anak-anak kelas pekerja yang sanggup (dengan susah-payah) masuk ke dalam sistem pendidikan itu dapat dengan mudah dibeli, dan untuk melemahkan sektor mahasiswa yang sudah terbukti dari sejarahnya kerap menjadi pemicu bagi perlawanan kelas pekerja itu sendiri.
Pendidikan bukanlah sebuah industri jasa. Pendidikan adalah mesin ideologis yang akan membentuk kader-kader dan pelayan-pelayan kaum borjuasi. Berhadapan dengan kondisi suram ini, apakah yang dapat diperbuat oleh kaum kritis terhadap sektor mahasiswa? Pertama-tama haruslah disadari bahwa seluruh pelajar, mahasiswa tidak terkecuali, berada di bawah hujan propaganda kaum borjuasi. Propaganda yang datang dalam bentuk, lisan, tulisan, bentuk-bentuk budaya, lingkungan pergaulan. Kaum gerakan mahasiswa haruslah membuat kampus dan sekolah-sekolah memancarkan aroma kelas pekerja. Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu bersepakat tentang apa yang disebut dengan "aroma kelas pekerja" itu. Budaya kelas pekerja bukanlah sekedar budaya "dari jam sembilan sampai jam lima", alias kerja kantoran. Budaya kelas pekerja juga bukan budaya tinggal berlama-lama di kantor, pabrik atau sekretariat. Budaya kelas pekerja adalah, di atas segalanya, disiplin dalam demokrasi. Berteguh melaksanakan kerja-kerja yang telah dibagikan melalui diskusi-diskusi yang demokratik, melalui keputusan mayoritas. Kita akan kembali lagi pada hal ini di belakang.
Gerakan mahasiswa harus selalu menggunakan alat-alat yang dapat seluas mungkin berbicara kepada setiap mahasiswa mengenai isu-isu tertinggi yang mungkin dipergunakan. Contohnya, ketika situasi sangat represif, kaum gerakan harus dengan semangat melancarkan agitasi dari orang ke orang dengan isu demokratisasi kampus. Namun, ketika situasi terbuka telah didapatkan, kaum gerakan harus mempergunakan koran untuk berproganda tentang sosialisme di kampus. Media yang sanggup menjangkau seluas mungkin massa dan isu yang sanggup menggerakkan sebanyak mungkin orang, sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungan termaksud. Namun, hal ini saja belum cukup. Hujan propaganda borjuasi dilancarkan secara sistemik, terorganisir dan menyeluruh. Maka, untuk sanggup mematahkan itu, kaum sosialisme gerakan harus pula membangun satu lingkungan kelas pekerja di tengah-tengah kampus - dengan satu peringatan : tanpa menjadikan kaum sosialisme gerakan itu sebuah sekte yang eksklusif dan menakutkan bagi massa mahasiswa secara luas. Pendeknya, gerakan mahasiswa tidak boleh dibiarkan menjadi gerakan mahasiswa an sich. Sebaliknya, menjadikan tugas kaum sosialisme gerakan untuk semakin banyak memasukkan anggota- anggota kelas pekerja ke dalam pendidikan tinggi dan mempertahankan keberpihakan mereka kepada kepentingan kelas mereka sendiri. Kaum sosialisme gerakan tidaklah boleh berhenti bergerak demi sebuah 'pendidikan murah untuk semua' demi tercetaknya kader-kader kelas pekerja yang berketrampilan tinggi. Semakin banyaknya kader-kader kelas pekerja di dalam lingkungan pendidikan tinggi juga memudahkan pembangunan satu lingkungan beraroma kelas pekerja di dalam kampus, melancarkan penerimaan isu-isu ekonomis di dalam kampus, dan mendekatkan massa mahasiswa secara personal kepada isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat pekerja di luar tembok-tembok kampus.
Dengan agitasi dan propaganda yang luas, dan pembangunan lingkungan beraroma kelas pekerja, setidaknya di kalangan kaum sosialis itu sendiri, kita boleh mengharapkan agar gerakan mahasiswa ini menjadi semakin kental dalam hegemoni kelas pekerja. Jika proses ini dapat dilalui dengan berhasil, upaya memenangkan massa mahasiswa yang lebih luas akan mendapatkan pelumas yang sangat manjur. Apalagi yang mampu mematahkan lingkungan penuh kesenangan dan hura-hura ala mahasiswa, kecuali jika mereka melihat bahwa budaya kelas pekerja mutlak unggul dari budaya kesenangan yang selama ini mereka anut? Sebagai penyimpulan, tugas kaum gerakan di tengah gerakan mahasiswa adalah membangun komunitas luas yang terhubung secara fisik dan ideologis dengan gerakan kelas pekerja itu sendiri.

Setelah itu
Tentu saja kita tidak boleh menunggu agar komunitas kita besar terlebih dahulu sebelum melancarkan propaganda ke kalangan yang lebih luas, terutama gerakan mahasiswa pada umumnya. Pandangan-pandangan serupa "Kita masih kecil dalam jumlah", atau "Kita belum cukup kuat", sesungguhnya menunjukkan ketidakyakinan ideologis yang mendalam. Akibat lanjutan yang dapat muncul kemudian jika ketidakyakinan ini tidak segera diatasi adalah watak-watak sektarian dalam pergerakan.
Segera setelah komunitas sosialis dalam gerakan mahasiswa terbentuk, ia harus melancarkan pula propaganda yang diarahkan pada massa mahasiswa, khususnya gerakan mahasiswa pada umumnya. Hal yang terutama, harus dipropagandakan oleh kaum sosialis di tengah gerakan mahasiswa? bahan propaganda ini tentulah diutamakan yang menyangkut upaya untuk memperbesar pengaruh keberpihakan pada gerakan buruh dan kelas pekerja lainnya di tengah gerakan mahasiswa, termasuk propaganda-propaganda yang perlu untuk mencegah gerakan mahasiswa berdiri sebagai suatu gerakan yang terpisah, mandiri, terutama dari gerakan kelas pekerja.
Gerakan mahasiswa perlu mengkritisi tanpa ampun sikap umum perkumpulan mahasiswa yang enggan menggabungkan diri dengan gerakan rakyat pekerja, sikap-sikap non-partisan yang tak berprinsip, dan penyakit-penyakit sektarian lain antar mereka sendiri yang kerap diidap oleh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa juga perlu menggunakan segala macam cara yang dikuasainya - memohon pengertian atau mengungkapkan peringatan-peringatan keras, tajam atau lembut, keras atau lunak - agar pemahaman itu dapat menancap dalam-dalam di kepala dan hati massa mahasiswa.
Mengangkat isu-isu kampus menjadi isu-isu yang menyangkut kepentingan rakyat pekerja secara umum, dan sebaliknya, isu-isu rakyat pekerja harus terus diperkenalkan kepada komunitas massa mahasiswa di dalam kampus. Dengan demikian roda revolusi yang digulirkan oleh para Gerakan mahasiswa menjadi kelompok yang pertama mempropagandakan dan melancarkan aksi-aksi massa dalam setiap kesempatan, walau sekecil apapun, yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan watak sejati dari para penguasa birokrasi kampus. Selain itu kaum gerakan harus pula menjadi yang pertama untuk mempromosikan solidaritas terhadap gerakan di kampus lain, mendorong terbentuknya satu penyatuan dalam gerakan mahasiswa di tingkatan yang lebih luas. Walau tetap harus diperhatikan prinsip-prinsip dalam beraliansi, antara lain kebebasan untuk menjalankan kritik bahkan terhadap kawan-kawan aliansi, penyatuan kekuatan harus dijadikan prioritas utama. Terlebih ketika berhadapan dengan Negara Borjuasi yang represif.
Pendeknya, gerakan mahasiswa harus menjadi pelopor sejati, bukan hanya dalam teori. Namun, di samping semua itu, gerakan mahasiswa menempati posisi khusus dalam kancah revolusioner. Dengan demikian, tugas untuk mempelajari berbagai teori dan sejarah revolusi menempel dengan kuat di pundak gerakan mahasiswa. Selain itu juga mengemban tugas yang berat untuk menyediakan bacaan bagi seluruh rakyat pekerja. Adalah tugasnya, walaupun sangat berat, untuk mempelajari segala bahasa asing yang mungkin dikuasai, agar dapat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai artikel dan buku yang selama ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir kalangan saja. Ia juga harus menuntut dibukanya perpusatakaan publik. Hal ini semakin membuat hubungan secara fisik dan ideologis. Dengan demikian, apa yang dipikirkannya, kesadarannya, adalah kesadaran dari lingkungan yang hegemonik baginya, yaitu lingkungan kelas pekerja. Dengan demikian pula, ia dapat berbagi apa yang telah dihasilkannya dalam kerja-kerja mental itu kepada gerakan kelas pekerja, menerangkan kepada gerakan kelas pekerja dalam bahasa mereka sendiri, dan membantu gerakan kelas pekerja untuk mewujudkan segala hasil kerja mental itu.
http://harypr.com/artikel8.php


0 Komentar::

Posting Komentar

♥♥♥Eit..Eit..kayanya pengunjung mau kirim komentar nih tentang bacaan barusan..ya dah..NAME/URL juga boleh kok..Makasih yah.. ♥♥♥